Kajian Ramadhan 1433H - Ramadhan dan Pembentukkan Karakter Islami




YUK... HADIR KE KAJIAN RAMADHAN !!!!

RAMADHAN & PEMBENTUKKAN KARAKTER ISLAMI

Ahad, 22 Juli 2012
Tema : Full Fiqih - Dari Puasa Sampai Lebaran
Pembicara : Ust. Saiyid Mahadhir, Lc
Pukul 08.00 s.d 12.00 wib
Tempat : Ma'had Al-Husnayain Bekasi

Ahad, 29 Juli & 5 Agustus 2012
kajian tafsir : QS. Al-Hasyr
Pembicara : Ust. Ahmad Asrori, Lc., MPd.I (Al-Hafidz)
pukul 08.00 s.d 12.00 wib
Tempat : Ma'had Al-Husnayain

infaq Peserta Rp 15.000,- (Untuk 3 Pekan)

Alamat : Jl. Rambutan Raya No. 13C. Harapan Baru - Bekasi Barat
CP : 0857-1974-1717

BAKSOS, Ahad - 5 Agustus 2012
di Madrasah An-Nasriyah
Babelan - Bekasi
Bagi teman-teman yang ada kelebihan rizki bisa disalurkan melalui BEMMA
CP : 0857-1974-1717 (azmi)

Selengkapnya...

Menikah di Mekkah, Cerai di Indonesia

Akhir-akhir ini banyak orang yang sengaja umroh dengan maksud melansungkan akad nikah di kota penuh berkah itu. Yah, biasalah, orang kita seneng di puji, atau seneng dengan hal-hal ‘menurut’ mereka bisa memberikan nilai lebih di mata orang lain. Biar cepet masuk tivi, biar bisa masuk dalam obrolan acara selebriti itu.

Padahal menikah waktu umroh itu tidak mutlak dianggap bener. Bayangkan saja jika mereka melaksanakan prosesi akad itu ketika mereka masih dalam rangkaian ibadah umroh lebih tepat mereka masih dalam kondisi ihrom. Wah, jika seperti ini bisa-bisa akad nikah itu malah dianggap tidak sah menurut syari’at Islam.

Ko bisa begitu?

Ya bisalah. Karena di dalam islam, orang yang sedang ihrom itu (baik ihrom haji, maupun ihrom umroh) dilarang untuk melangsungkan akad nikah, tidak hanya itu, sebenarnya mereka juga dilarang untuk menikahkan, juga dilarang untuk meminag (melamar). Jika itu terjadi, makah pernikahan itu dianggap tidak sah, dan harus diulang. Rosul saw. sangat tegas dalam maslah ini, beliau bersabda:

لا ينكح المحرم ولا ينكح ولا يخطب

“Mereka yg sedang ihrom itu tidak boleh melangsungkan akad nikah, juga tidak boleh menikahkan, juga tidak boleh melamar”(HR. Bukhori Muslim)


Pendapat ini didukung oleh sebagian besar para ulama, semisal Imam Maliki, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Auza’I, Imam al-Laits, dan ulama’-ulama’ yang mu’tamad lainnya.

Tapi kan katanya Rosul saw. menikahi Maimunah dalam keadaan ihrom?

Itukan katanya:-), begini, memang ada riwayat seperti itu, seperti yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. Akan tetapi jika kita lihat lagi dari apa yang diungkap oleh para ahli hadits, kita akan menadapai ternyata riwayat Ibnu Abbas itu lemah, dan banyak bertentangan dengan riwayat yang mengataan bahwa tidak benar jika Rosul saw. menikahi Maimunah dalam keadaan ihrom, justru Rosul saw. menikahinya dalam keadaan halal (telah selesai dari ihromnya).

Jangan sampai, niat hati pingin keren tapi malah jadi musibah, bisa-bisa malah berdosa. Na’udzubillah. Padahal tempat yang berkah itu tidak mesti mewariskan keberkahan. Hem, buktinya tidak sedikit mereka yang menikah di Mekkah, lalu cerai di Indonesia.

Jika memang mampu untuk melangsungkan pernikahan disana, silahkan saja, namun jauh sebelum itu, ilmu harus berada sebelum segala sesuatu.

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Pengantin Menjama’ Sholat, Boleh?

Para ulama banyak menuliskan boleh menjama’ sholat ketika dalam kondisi berikut: Bahaya (Takut), Safar (bepergian), sakit, hujan, haji, selebihnya, mereka berbeda pandangan. Inilah syari’at yang sangat memudahkan, walau bukan berarti mempermudah semuanya tanpa ada petunjuk yang jelas.

Lalu bagaimana dengan kondisi walimah urs (Pesta Pernikahan), apakah dalam kondisi seperti sang pengantin boleh menjama’ sholatnya?

Memang Islam sangat menganjurkan untuk diadakannya pesta pernikahan, bahkan walau hanya dengan menyembelih seekor kambing, tujuannya selain sebagai ekspresi kebahagiaan dari kedua mempelai, juga agar pernikahan itu diketahui oleh halayak ramai. Tidak terkesan disirrikan. Sebenarnya Islam juga menghendaki pernikahan itu (baca: Aqad) di laksanakan di Masjid, juga pada hari itu dianjurkan untuk dipukul rabanahan (bukan orkes, apa lagi orgen tunggal)

Walimahan itu memang dianjurkan, akan tetapi Islam juga tidak setuju jika itu diadakan secara berlebihan, berlebihan disini maksudnya adalah terlalu ‘wah’ sehingga menyebabkan ada sebagian hak dan kewajiban yang kadang terlupakan.


Padahal nikah itu ibadah, bahkan separuh taqwa, apa iya yang sejatinya kita mengharap pahala dan ridho-Nya, tetapi ternyata dihari itu banyak dosa, lalu dimana sakinah yang dicari? Hanya karena ekspresi bahagia yang berlebihan dicampur dengan hura-hura, berharap keluar kata ‘wah’ dari para undangan sampai ke ujung kota sana.

Misalnya dalam masalah undangan, jika yang diundang hanya orang –orang yang ‘kaya saja’ maka sepertinya itu acara makan-makannya orang kaya saja, dan makanan walimahan yang hanya dimakan oleh mereka itu dicap sebagai sejelek-jeleknya makanan. Kenapa tidak membagi kebahagiaan itu justru kepada merek orang-orang ‘susah’ (baca: Miskin)

Juga dalam masalah hiburan, biasanya semua berlomba untuk menghadirkan music paling top dengan biduanita yang menor dan lebay, mengundang syahwat dan membuat sebagian undangan mabuk, bahkan mabuknya ditambah dengan minuman beralkohol juga, tidak heran di banyak daerah pernah terjadi perkelahian antara sesama undangan, sampai luka-luka. Hem, lalu siapa yang akan menanggung semua dosa itu?

Juga masalah dandanan pengantin itu sendiri, mereka menjadi ratu dan raja sehari, tapi pertanyannya emang dandanan ratu dan raja begitu? Tapi bagus ko:-). Hanya saja dengan model dandanan pengantin sekarang ini membuat mereka sulit untuk bergerak, bahkan jika kebelet mau ke kamar mandi, mungkin akan bisa ditahan sekuat tenaga. Nah, gara-gara inilah kadang sholat mereka juga lewat.

Apa lagi disini, disekitaran Jakarta. Pertama-tama saya kaget ketika hadir di walihan temen di Bogor, ternyata acaranya seharian. Huh.. pengantinnya dipajang dari pagi sampai magrib (Mungkin kerasa lebih capek ketimbang main bola ya,he), maklum selama ini yang saya hadiri acaranya hanya dari pagi sekitar pukul 09.00 hingga zuhur, itu saja, begitu kita di Palembang sana. Jadi, baru disini saya mendapat pertanyaan tentang menjama’ sholat karena walimahan.

Kembali ke permasalahan, pertanyaan intinya adalah emangnya sesulit apa sih sehingga terpaksa meningglkan sholat pada waktunya? Apa jika sholat pada waktunya pernikaha akan batal, terus jadinya ga sah? Apa jika sholat pada waktuya semua tamu pada bubar? Apakah jika sholat pada waktunya bakal dimusuhi ama mertua? Apakah jika sholat pada waktunya butuh bedak baru dan lipstick baru yang harganya 1 M?

Ada banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mungkin bisa dijawab. Ok, anggap saja itu memberatkan, tapi coba saja solusi berikut, silahkan menjama’ sholatnya, tapi bentuknya jama’ shuriy, ini yang sering ditulis oleh para ulama’.
Penjelsannya begini. Contohnya jika pengantin dari pagi udah didandan sedemikin rupa, dan ternyata waktu zhuhur telah masuk, maka silahkan untuk tidak sholat dulu dan silahkan bersenyum-senyum ria dulu dengan para tamu undangan itu, namun nanti kira-kira pukul 15.00 barulah pengantin sholat zuhur, habis salam ke kanan ternyata adzan ashar terdengar, nah ketika itu langsung lanjutkan degan sholat asharnya. Ini jama’ shuriy namanya, begitu seterusnya. Mirip jama’ tapi bukan. Gimana?

Tapikan katanya “Rasulullah SAW menjama' zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya' di Madinah meski tidak dalam keadaan takut, safar, maupun hujan”
Memang benar ada riwayat seperti itu, tex aslinya begini:

ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَال: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

Namun riwayat itu tidak memberikan penjelasan rincinya, para ulama’ banyak memberikan penafsiran tentang hadits ini.

ada yang mengatakan hadits ini dipakai dalam kondisi hujan, ada lagi yang menjelaskan bahwa hadits ini teruntuk bagi mereka yang sedang melaksanakan hal-hal yang sangat penting sekali, sehingga jika ditinggalkan maka akan terjadi perkara yang besar, misalanya kondisi dokter yang sedang mengoperasi pasiennya, namun ada juga yang memaknainya secara umum yaitu kondisi dimana tidak memungkinkan untuk mengerjekan sholat pada waktunya, akan tetapi dengan syarat:

a. Kejadiannya harus bersifat di luar perhitungan dan terjadi tiba-tiba begitu saja. Seperti yang terjadi pada diri Rasulullah SAW tatkala terlewat dari shalat Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya sekaligus, gara-gara ada serangan atau kepungan musuh dalam perang Azhab (perang Khandaq). Beliau saat itu menjama' shalat yang tertinggal setelah lewat tengah malam, bukan ketika perjalanan, sebab beliau SAW dan para shahabat bertahan di dalam kota Madinah Al-Manuwwarah.

b. Syarat kedua adalah bersifat sangat memaksa, yang tidak ada alternatif lain kecuali harus menjama'. Sifat memaksa disini bukan disebabkan karena kepentingan biasa, misalnya sekedar karena ada rapat, atau pesta pernikahan, atau kemacetan rutin yang melanda kota-kota besar. Kejadian yang memaksa itu semsisal Tsunami yang menimpa Aceh dan Mentawai, dokter yang sdang mengoperasi, gempa bumi yang berkepanjangan, kerusahan massa, dll.

Jadi, bolehkah menjama’ sholat bagi pengantin? Jawabannya boleh, jika yang dimaksud dengan jama’ disini adalah jama’ shuri seperti yang kita jelaskan diatas. Selebihnya jangan.

Selamat memperaktekkan! Sakinah dengan belajar fiqih nikah:-)

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Aurat Perempuan

‘Tubuh adalah jati dirimu’. Allah degan anugerah-Nya telah menciptakan manusia dengan sebaikbaik bentuk, tentunya itu bukan untuk ditontonkan, bukan pula untuk dijual ke media-media atau sejenisnya, Allah menciptanya untuk memuliakan mausia itu sendiri dari semua makhluk yang ada. Firman Allah :

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”(QS. at-Tin; 4)

A. Pengertian

Para ulama memebenrikan definisi aurat sebagai berikut :
مَا يَحْرُمُ كَشْفُهُ مِنَ الْجِسْمِ سَوَاءٌ مِنَ الرَّجُل أَوِ الْمَرْأَةِ ، أَوْ هِيَ مَا يَجِبُ سِتْرُهُ وَعَدَمُ إِظْهَارِهِ مِنَ الْجِسْمِ

“bagian badan yang dilarang untuk dibuka baik itu bagi laki-laki atau permpuan, atau ia bermakna bagian badan yang wajib ditutup dan tidak diperlihatkan”

Khotib Syarbini memberikan definisi dengan:
هِيَ مَا يَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهِ

“apa yag diharamkan untuk dilihat’


B. Hukum yang terkait mengenai autrat perempuan

1. Auarat perempuan di depan laki-laki asing

a. Jumhur ulama menyepakati bahwa semua badan perempuan merupakan auaratnya selain muka dan telapak tangan; karena perempuan juga butuh bermu’alah dengan laki-laki dalam hal jual beli dimana disana ada transaksi memberi dan mengambil, hanya saja kedua bagian badan oleh terlihat jika aman dari fitnah.

pendapat ini bersandarka kepada ayat berikut :
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“ dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya”(QS. an-Nur: 31)

maka celak tempatnya di wajah, cincin letaknya di jari-jari tangan, jadi tidak masalah perhiasan itu terlihat.

juga ada hadits yang mempertegas tetang itu;
رُوِيَ أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا ، دَخَلَتْ عَلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا ، وَقَال : يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا ، وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

“Dari asma’ binti Abi bakr ra, bahwa dia (asma’) dating kepada Rosul SAW dengan memakai pakain yang tipis, maka Rosul SAW berpaling darinya seraya berkata; “wahai Asma’, perempuan itu jika telah haidh (sapai umur) maka tidak tubuhnya tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini (rosul menunjuk kepada wajah dan telapak tagan) (HR. Abu Daud)

b. Imam Abu Hanifah membolehkan tersingkapnya kedua telapak kaki, karena Allah melarang dari perempuan untuk memperlihatkan hiasannya kecuali apa yangterlihat darinya. Dan kedua telapak kaki itu salah satu dari tempat perhiasan yang boleh kelihatan.

c. sedang Ibnu ‘Abidin mengungkap bahwa telapak tangan (bagian luar) merupakan aurat, yang boleh terlihat itu hanya telapak tangan (bagian dalam) saja, karena secara ‘urf bahwa yang digunakan untuk tranasaksi juala beli itu telapak tagan bagian dalam.

d. Imam Ahmad bin Hambal berpedapat bahwa seluruh badan perempuan itu aurat dan tidak boleh terlihat termasuk kuku sekalipun. Akan tetpi jika perempuan itu telah lanjut usia maka tidak masalah ada bagian tubuh mereka terlihat, berdasarkan firman Allah;
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ يَرْجُونَ نِكَاحًا

“dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian[1050] mereka dengan tidak (bermaksud) Menampakkan perhiasan, dan Berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana”(QS. an-Nur; 60)

[1050] Maksudnya: pakaian luar yang kalau dibuka tidak Menampakkan aurat.

Imam Ahmad menyandarkan pendapatnya kepada hadits berikut:
أَنَّ الْفَضْل بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ رَدِيفَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَجِّ فَجَاءَتْهُ الْخَثْعَمِيَّةُ تَسْتَفْتِيهِ ، فَأَخَذَ الْفَضْل يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ هِيَ إِلَيْهِ ، فَصَرَفَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَجْهَ الْفَضْل عَنْهَا

“bahwa Ibnu Abbas ra pernah bersama Nabi SAW dalam sebuah perjalanan haji, dan waktu itu datang seorang perempuan dari khots’amiyah ingin meminta fatwa,dan Ibnu Abbas ternyata melmandangnya dan perempuan itu juga memandang Ibnu Abbas , maka Rosul SAW memalingkan wajah Ibnu Abbas dari permpuan itu” (HR. Bukhori Muslim)

dan As-Syafi’iyah serta Hanafiyah berpendapat, membuka aurat didepan anak-anak tidak mengapa yang mereka belum mengerti mana yang dinamakan auarat atau mana yang tidak. Mereka bersandar kepada firman Allah SWT:

أَوِ الطِّفْل الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ أَوِ الطِّفْل الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
“atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”(QS. an-Nur:31)

Akan tetapi jika anak-anak itu sudah mencapai derajat tamyiz, atau sudah hampir samapai umur maka tetap saja hukumnya tidak boleh membuka aurat perempuan didepan mereka.

Maka dalam hal ini, boleh bagi laki-laki yang ingin meminang perempuan untuk melihat dua bagian tubuh perempuan yang akan dipinangnya walaupun tidak diizinkan olehnya juga oleh walinya.

2. Aurat permpuan muslimah di depan perempuan kafir

a. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa perempuan kafir itu sama halnya dengan laki-laki asing, jadi semua bagian tubuh perempuan usmuslimah itu adalah aurat yang tidak bleh terlihat oleh mereka kecuali telapak tangan dan wajah.
pendapat ini bersandarkan kepada firman Allah SWT:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. anNur;31)

di dalam ayat tersebut, tidak disebutkan bahwa perempuan kafir boleh melihatnya.

juga ada atsar dari Umar bin Khottob bahwa dilarangnya wanitia kitabiyyat dan muslimah untuk masuk ke kamar mandi bersamaan.

b. adapun golongan Hanabilah tidak jauh berbeda pendapatnya dengan pendapat jumhur ulama.

3. Aurat perempuan di depan perempuan lainnya

Para ahli fikih berpendapat bahwa dalam permasalahan ini sama halnya dengan aurat sesama laki-laki. Jadi sesama wanita boleh untuk membuka dan melihat aurat wanita lainnya selain yang berada dianatar puser dan lutut. Akan tetapi yang demikin tidak mutlak begitu saja, tetap saja para ulama mengahramkannnya jika dikhawatirkan dari itu semua munculnya fitnah yang lebih besar, seperti munculny nafsu diantara mereka yang berujung kepada lesbi.

4. Auarat perempuan di depan keluargaya (Mahromnya)

Mahrom itu adalah yang haram menikahinya selamanya, baik karena sebab nasab maupun karena sebab sesusuan. Jadi, walaupun secara hubungan sosial masih terkatagorikan keluarga akan tetapi ketika islam membolehkan menikahinya, maka tetap saja hukumnya sama seperti hokum orang asing dalam permasalahan aurat.

a. Golongan Malikiyah da Hanabilah berpendapat bahwa tubuh permpuan itu semuanya aurat di depan mahromnya selain wajah, kepala, kedua tagan, dan kedua kaki.

jadi walaupun di dalam rumah mereka sendiri, perempuan itu tetap saja harus memakai pakaian yang menutupi semua bagian tubuhnya, tidak boleh sesuka hati, kecuali jika dia berada di kamarnya sendiri, dan sendirian atau jika perempuan itu hanya bersama suaminya saja. Dengan semua itu perempuan bisa lebih terjaga kesucian tubuhnya.

suami saudari bukan mahrom, oleh karenanya jika bertemu dan berkumpul dengan mereka perempuan itu harus menutupi semua auratnya.

b. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa boleh terlihat tubuh mereka selain perut, punggung juga diantara puser dan lutut jika aman dari fitnah, dan tidak menimbulkan nafsu bagi mahrom yang melihat bagian tubuh yang terlihat itu. Jika menimbulkan fitnah maka kembali ke asal bahwa perempuan itu harus menutup semua tubuhnya.

c. Dan golongan Syafi’iyyah berpendapat semua tubuh perempuan itu aurat kecuali bagian-bagian yang sering terlihat dalam aktifitas di rumah, misalnya kepala sampai leher, tangan sampai siku, dan kaki hingga lutut.
Dari pendapat ini perempuan boleh memakai pakaian pendek di dalam rumahnya yang disana mereka berdiam dengan mahromnya hanya yang harus menjadi perhatian adalah ukuran pendeknya yang tidak melebihi tersingkapnya kaki samapi lutut, dan tangana hingga siku.

Untuk melengkapai penjelasan di atas, para ulama menambahkan bahwa pakaian yang menutup auarat itu tidak boleh ketat sehingga membentuk tubuh dengan lika-likunya, juga tidak boleh tipis, sehingga bisa terlihat sebagina kuitnya.
hal itu terlarang dengan adanya ancaman dari Nabi SAW melalui haditsnya:

سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَّاتٌ،... الْعَنُوهُنَّ فَإِنَّهُنَّ مَلْعُونَاتٌ

"akan datang nantinya diakhir ummatku permpuan-perempuan yang berpakaian tapi mereka sekan telanjang, maka laknatlah mereka karena mereka adalah perempuan-perempuan yang terlaknat” (HR. Ahmad)

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Sholatnya Orang Mabuk

Setiap kali saya tanya arti mabuk dengan teman-teman, setiap kali itu juga saya mendapatkan kesamaan persepsi tentang mabuk. Rata-rata orang akan mengatakan mereka dikatan mabuk karena mereka tidak tahu dan idak faham dengan apa yang mereka katakana. Tepat sekali! Mereka itu mabuk.

Karena itu juga mereka yang mabuk itu dilarang untuk sholat, bahkan Allah tegas sekali dalam perkara ini melalui firmanNya:

يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (QS. An-Nisa’: 43)

Awalnya orang-orang dahulu ada yang sholat dalam keadaan mabuk, lalu mereka membaca surat al-Kafirun, terang saja karena mabuk akhirnya bacaan mereka kebolak-kebalik, galau jadinya, yang mestinya makna bacaan mereka itu “Wahai orang-orang kafir, kami tidak akan menyembah apa kaian sembah” berubah mnejadi “Wahai orang kafir, kami uga meyembha apa yang kalian sembah” patal sekali! Mungkin Allah akan sangat marah dengan ucapan seperti itu, karena itu buat jaga-jaga dan wanti-wanti, Allah melarang orang yang lagi mabuk untuk sholat. Patal sekali akibatnya, gara-gara itu mereka tidak faham apa yang ucapkan.

Lalu pertanyaannya apakah kita faham dengan apa yang kita ucapkan dalam sholat-sholat kita?


Jangan-jangan kita juga bagian dari dari orang-orang yang mabuk, iya kan? Karena orang mabuk itu-sekali lagi- orang yang tidak tahu dan tidak faham dengan apa yang dia ucapkan. Ngigau.

Biar tidak masuk dalam katagori mabuk, maka sudah seharusnya ummat Islam ini belajar bahasa arab. Iya dong, bahasa inggris aja banyak yang fasih, dan berani merogoh kocek yang dalam untuk bisa mencapai level sempurna, masa’ iya untuk urusan agama –apa lagi sholat- pelit banget.

Biar tidak dikatakan orang mabuk dalam sholat, maka harus mengerti makna bacaan-bacaan sholat kita, jika tidak maka sekali lagi, kita itu menjadi orang mabuk.
Memang iya, mabuk jenis ini beda dengan mabuk karena al-Kohol, tidak sah sholat dalam kondisi mabuk karena alkohol, sholatnya orang yang mabuk karena tidak bisa bahsa arab tetap sah, namun apakah kwalitasnya bagus atau tidak, ini yag menjadi permasalahan.

Mugkin saja ini juga salah satu penyebab mengapa sepertinya kita tidak meliat hasil dari sholat-sholat yang kita ritualkan, bukankah sholat itu bisa mencegah diri dari perbutan keji dan dan munkar? Lalu mengapa justru perbuatan keji dan munkar itu makah dating orang-orang yang sholat?

Yah, wajarlah karena yang sholat itu banyak orang mabuk, mereka tidak faham dengan makna jejampian yang selalu mereka ulang setiap kalinya.

Jika jejampian “Man Jadda wajada” aja bisa memotivasi sebagian orang hingga ke Prancis sana, itu karena yang mengucapkannya faham dengan maknya, masa’ iya jejampian “Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil ‘alamin” tidak bisa membuat jiwa tenang, jujur, ikhlas, ridho, tidak pearah, dll? Tidak ada alsan lain mengapa sholat itu seakan tidak berbekas bagi pelakunya kecuali mereka tidak faham dengan apa yang mereka ucapkan, mabuk.

Belajar Bahasa Arab solusinya..

Mari belajar bahsa arab, agama ini tidak bisa diambil hikmah-hikmahnya kecuali jik kita bisa berbahasa arab.

Kok susah ya? Itu persepsi anda ko, jika ada kemauan pasti bisa. Dan yang sebelum segala sesuatu, sebelum kita faham atau tidak, sebelum itu semua kita sudah tercatat dalam daftar mereka yang mendapat pahala belajar bahsa arab.

Yuk… kapan lagi, mumpung umur masih dikandung badan. Mereka yang keuarrumah dengan iat belajar itu pahaanya sama sperti paha jihad lo, enakan meninggal ketika belajar ketimang meninggal diats kasur yang emppuk di rumah.

Bagi yang berada di sekitaran Bekasi, Husnayain solusinya, atau jika ada yang lebih berminat, daftar LIPIA sekalian..:-)

Wallahu a’lam bis sahowab

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Ijab Kabul itu apaan sih?

Kemarin (25 maret 2012) kita diundang dalam acara walimah urs di daerah Cikarang, Bekasi. Ada hal yang unik dalam acara ini, ternyata mempelai laki-laki dengan penampilan yang gagah itu butuh 5-6 kali untuk bisa dengan sempurna melafzkan kata-kata penerimaan.

Kasihan ya, mana acara diluar rumah lagi, hamper seluruh undangan menyaksikan kegugupannya itu, belum lagi melihat Pak Penghulu dan wali calon istri yang kelihatannya ‘lumayan’ kesel, pasalanya walinya harus terus mengulang-ngulang, karena kata Pak Penghulu ucapan itu beum sah.

Hem, bukan hanya Pak Penghulu sih yang bilang ga sah, tapi kelihatannya para undangan juga mengaminkan untuk bisa diulang lagi. Baru untuk yang keenam kalinya Pak Penghulu dan undangan seakan serempak beteriak SAH! Tak lama bergemuruh suara tepuk tangan.. (Cie, pake aca tepuk tangan segala, emangnya lomba :-))

Apa bener prosesi ijab Kabul itu sesulit itu? Sehingga butuh diulang-ulang gitu?

Dalam syari’at islam, memang ijab dan qobul dalam pernikahan itu bagian dari rukun nikah, dimana jika ia tidak ada maka tidaka ada pernikahan. Dalama mazhab syafi’I rukun nikah itu terdiri dari dari, yaitu: Calon suami, calon istri, Lafzh (Ijab qobul), wali, dan dua orang saksi.


Ijab dan qobul itu apa? Ayooo… bisa jawab ta’? Saya jadi pingin tanya dengan Pak Penghulu tentang lafz Ijab itu apa?

Lafaz Ijab itu menurut Imam Abu Hanifah ialah lafaz pertama yang keluar, jika lafaz pertama yang keluar itu dari wali calon istri, maka itulah yang dinamakan Ijab, tapi jika seandainya yang pertama keluar justru dari calon suami, maka itulah ijab.

Sedang lafaz qobul itu adalah lafaz kedua setelah lafz pertama tadi, jika lafz yang kedua itu keluar dari lisannya calon suami, maka itulah qobul, pun begitu jika trnyata lafz kedua justru keluar dari lisannya wali calon istri, maka itu juag dinamakan qobul.

Lo, emang bisa seperti itu? Jika memakai pengertian ini bisa dong.. Jika selama ini

kita sering menyaksikan bahwa lafaz ijab itu hanya keluar dari wali, misalnya si wali berkata kepada si B selaku calon suami: “Wahai si B, Saya nikahkan engkau dengan putriku si D dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai” dan kemudian dijawab oleh si B selaku calon suami dengan lafaz qobul dg kata-kata: “Saya terima nikahnya si D putri Bapak dengan maskawin tersebut”

Dengan memakai pengertian ini, sebenranya sah jika lafaz ijab keluar dari calon suami, misalnya si B mengucapkan: “Wahai Pak Tono, tolong nikahkan saya dengan anak Bpk bernama si D dg mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai” lalu kemudian jiwab oleh wali calon istri dengan lafaz qobul: “Iya, saya nikahkan engkau dengan anak saya si D” dan sekali itu sah.

Walaupun disa’at yang bersamaan Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Hambali, menyatakan bahwa lafaz ijab itu adalah kalimat yang keluar dari wali walupun kalimat yang keluar itu terkesan kalimat qobul, dan lafaz qobul itu adalah kalimat yang keluar dari calon suami walaupun kalimat yang keluar itu terkesan ijab, intinya
tidak terlalu berjauhan dg pendapat Imam Abu Hanifah.

Lalu apakah ijab qobul itu punya lafz khusus?

Jumhur ulama sepakat bahwa tidak ada lafaz khusus dalam perkara ini, yang penting maksud yang dininginkan tercapai, boleh memakai bahsa arab atau pun Indonesia, boleh juga menggunkan bahasa jawa, Madura, kalimantan, Medan, Palembang, Papua, dll.

Jadi tidak ada yang harus persulit, jangan sampai malah membuat calon suami jelek dimata undangan, hanya saja imam Syafi’I dan Hambali mensyaratkan bahwa didalam kata-kata ijab dan qobul itu harus memakai kata-kata nikah atau zawaj walau dalam versi jawa, sunda, dll, dan tidak begitu bagi Imam Abu HAnifah dan Imam Maliki.

Apakah lafz Ijab qobul harus sempurna sampe disebutkan maharnya?

Lebih simple boleh, mahar itu tidak harus diteriakkan dihalayak ramai ko, apa lagi jika maharnya hanya uang Rp 10.000,- kan malu didenger orang:-), misalnya si wali mengatakan: “Wahai si B, saya nikahkan engkau dengan putriku bernama si D” itu sudah cukup dan jelas maknanya, lalu kemudian dijwab oleh si B ”Saya terima” sebatas itu juga cukup. Gampangkan?? Jangan bikin malu calon mantu sendiri dengan sok pingin mantep jawabnya dengan kalimat-kalimat yang panjang, dan itu sah ko? Tanya saja dengan Mazhab Abu Hanifah, Maliki, dan Hambali, hanya mazhab Safii yang menharuskan kata-kata nikahnya juga harus disebut oleh si B dg “Saya terima nikahnya” dan itu cukup dan sah dalam mazhab Syafi’I walu tanpa embel-embel lainnya.

Katanya harus memakai bahasa arab?

Memang ada pendapat dari mazhab Hmbali bahwa lafaz aqad itu harus memakai bahas arab, mungkin bagi mereka lafz ini sama dengan lafz takbirotul ihrom dalam sholat yang hanya boleh diucapkan degan ‘Allahu Akbar’ dan tidak boleh dengan ‘Allah Nan Gadang’, maka bagi mazhab ini baik wali maupun calon suami harus belajar bahasa arab.

Nah, bagus juga sih pendapatnya, biar semuanya pada daftar di Husnayain atau tempat-tempat lainnya biar bisa bahsa arab, kalo bilang dengan bahasa arab pasti mertua akan bilang “Manteeeppppp” :-)

Namun tidak begitu dengan jumhur ulama, asalkan bisa difahami dan lafznya jelas silahkan untuk memakai bahasa suku masing-masing.

Oiya, apakah harus pegagan tangan ketika akad?

Sejauh yang kita ketahui, tidak ada penjelasan tentang itu, mungkin itu hanya bagian dari tradisi saja, biar lebih mantep, biar kerasa panas-dinginya, walau sebenarnya tanpa pegangan tangan juga tetap sah.

Jika sudah begini, ntar Ijab Qobul sekali aja ya, insya Allah. Ga usah pake diulang-ulang, kasian, semua jadi malu, calon suami malu, calon istri malu, wali calon istri juga sebel, para undangan jadinya ikut tegang, dan Pak Ustazd yang hadir jadi ikutan tersenyum.
Hidup mudah dan ringan dengan belajar fiqih. Wallahu a’lam bis showab

saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Sholat Sunnah Qobliyah dan Ba’diyah, seberapa penting?

Pada hari kiamat nanti orang-orang yang berada akan bertanya kepada mereka yang berada dalam neraka saqor. Mungkin redaksinya seperti ini, “lo.. kok kalian aa di neraka saqor, kenapa nih?” Lalu mereka dengan jujur menjawab “Karena kamai dulunya bukan bagian dari mereka yang rajin melaksanakan sholat”

Dialog semacam ini direkam oleh al-Qur’an dalam suarat al-Muddassir ayat 42 sampai seterusnya. Memang benar, dan memang al-Qur’an tidak akan pernah mengabarkan atau bercerita tentang sesuatu yang salah. Itu al-Qur’an lo, bukan koran.

Perkara sholat adalah perkara pertama yang akan Allah tanya nanti di hari kiamat, jika sholat ini bagus, insya Allah perkara lainnya juga bisa bagus, namun jika perkara sholat ini bermasalah, jangan heran jika perkara lainnya juga bisa ikut jelek. Jika sudah demikan jangan pernah menyalahkan orang lain, caci makilah dirimu sendiri.

Bagi mereka yang sekarang sudah terbiasa sholat lima waktu, Alhamdulillah. Itulah kenikmatan diatas kenikmatan, namun ada hal juga harus diingat bahwa tidak yang tahu apakah sholat yang kita kerjakan itu sudah sempurna atau belum. Ini perkara ghoib, janganlah kiranya terlalu yakin bahwa sholat-sholat itu sudah diterima, namun buatlah jiwa ini selau merasa takut, ‘jangan-jangan’ sholat-sholat tidak diterimah, sehingga dari sini akan muncul kehati-hatian bagi kita ketika melaksanakan sholat berikutnya.


Kehati-hatian itulah yang mendorong kita membutuhkan suatu hal yang dengannya bisa membantu nilai dari sholat-sholat wajib kita jika saja sholat-sholat itu ternyata bermasalah.

Sholat Sunnah Qobliyah dan Ba’diyah

Sholat ini adalah sholat sunnah yang waktu mengerjkannya sangat berkaitan dengan waktu sholat wajib.

Qobliyah itu adalah sholat sunnah yang dikerjakan sebelum sholat wajib, para ulama’ mengatakan bahwa hal ini bertujuan sebagai pemanasan agar ketika mengerjakan sholat wajibnya badan kita sudah segar. Jika pemain bola kaki itu juga sangat membutuhkan pemansan agar bisa bermain lebih kuat dalm pertandingan, maka ini juga berlaku untuk sholat. Setelah bangun maam, mungkin badan kita masih kerasa lemes, mata masih redup, dan lainnya, sehingga membutuhkan sebuah penasan agar degannya badan kita lebih seger, maka dalam hal ini Rosul saw. meminta kita untuk bisa memulainya dengan shoalt sunnah dua reka’at sebelum subuh.

Sedangkan ba’diyah adalah sholat sunnah yang dikerjakan setelah sholat wajib, dan ini bertujuan sebagai penyempurna atau sebagai penutup jika saja ada kebolongan-kebolongan yang secara tidak sadar terjadi ketika sholat wajib. Mungkin saja ketika sholat wajib ada beberapa hal yang mengganggu kekhusyu’an sholat, sehingga pikiran kita keman-mana, yang ujung-ujungya bisa meyebabkan berkurangnya nilai sholat wajib kita. Inilah fungsi terbesar sholat ini, sebagai penambah nilai jika saja nilai sholat wajib yang dikerjakan dibawah standar. Bukan hanya ujian ada system penambahn nilai, sholat juga ada.

Apakah setiap sholat wajib ada sholat qobliyah dan ba’diyah

Para ulama’ membagi permasalahan ini dalam dua katagori:
1. Sholat sunnah qobliyah dan ba’diyah yang bersifat sangat dianjurkan.

Jumhur ulama’ mengatakan bahwa jumlahnya hanya 10 reka’at. Dua reka’at sebelum sholat zuhur, dua reka’at sesudahnya, dua reka’at setelah sholat maghrib, dua reka’at setelah sholat isya’ dan dua reka’at sebelum sholat subuh.

Inilah 10 reka’at yang sangat dianjurkan versi sebagian besar ulama’, mereka melandaskan hal ini atas hadits Ibnu Umar:
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhuma berkata,”Aku memelihara dari Nabi SAW sepuluh rakaat, yaitu dua rakaat sebelum Dzhuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib di rumah beliau, dua rakaat sesudah Isya’ di rumah beliau, dan dua rakaat sebelum shubuh. Dua rakaat sebelum shubuh itu termasuk waktu-waktu dimana Rasulullah SAW tidak ditemui, namun Hafshah radhiyallahuanha menyebutkan padaku bahwa bila muadzdzin mengumandangkan adzan saat terbit fajar, beliau SAW shalat dua rakaat. (HR. Bukhari)

Akan tetapi Imam Abu Hanifah menambahka bahwa sholat sebelum zuhur itu 4 rekaat, sehingga menjadi 12 reka’at, bukan 10 eka’at.Beliau berlandaskan hadits Aisyah:

Dari Aisyah radhiyallahuanha dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda,”Orang yang selalu menjaga dua belas rakat maka Allah SWT akan bangunkan untuknya rumah di dalam surga. Empat rakaat sebelum Dzhuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib di rumah beliau, dua rakaat sesudah Isya’ di rumah beliau, dan dua rakaat sebelum shubuh. (HR. An-Nasai dan At-Tirmizy)

2. Sholat sunnah yang penganuranya biasa-biasa saja bukan sunnah muakkadah

Seperti dua reka’at sebelum sholat ashar, berdasarkan hadits:
Allah SWT menyayangi seseorang yang shalat empat rakaat sebelum shalat Ashar. (HR Abu Daud)

Dua reka’at sebelum sholat maghrib, sepertii hadits Nabi:
“Shalatlah kalian sebelum Maghrib (beliau mengulangnya tiga kali). Diakhirnya beliau bersabda,"Bagi siapa saja yang mau melaksanakannya". Beliau takut hal tersebut dijadikan oleh orang-orang sebagai sunnah. (HR. Bukhari No. 1183)

Dan dua reka’at sebelum sholat isya’, berlandaskan hadits:
Dari Abdullah bin Mughaffal Ra ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Diantara adzan dan iqomah ada shalat, diantara adzan dan iqomah ada shalat (kemudian dikali ketiga beliau berkata:) bagi siapa yang mau” (HR. Bukhari No. 627 dan Muslim No. 838)

Semua ada dalilnya, namun para ulama’ mengatakan bahwa dalil-dalil itu bersifat biasa-biasa saja, berbeda dengan kekuatan dalil untuk 10/12 reka’at yang diatas tadi.

Berpindah Tempat Ketika Sholat

Berpindah tempat disini maksdunya adalah mencari tempat lain setelah menerjekan satu sholat untuk meneruskannya dengan sholat berkutnya, ini lebih terlihat ketika sebagaian orang berpindah temat ketika melaksanakan sholat qobliyah atau ba’diyah.

Tentunya kebiasan ini bukan tanpa alasan, karena memang ada tuntunannya, yang kedepan manfa’atnya juga akan sangat baikbagi pelakunya.

Dintara hadits rosul yang mengisyaratkan hal itu adalah:
Dari Abu Hurairah Ra dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Apakah kamu merasa lemah (keberatan) apabila kamu shalat untuk maju sedikit atau mundur, atau pindah ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri ?” (HR. Ibnu Majah)

Dan diantara alasan disyariatkanya hal tersebut adalah untuk memperbanyak tempat sujud atau ibadah, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Al-Baghawi.

Karena tempat-tempat ibadah tersebut akan memberi kesaksian di hari akhir nanti sebagaimana firman Allah Swt:

يَوْمَئِذٍ تحَُدِّثُ أخْبَارَهَا

”Pada hari itu bumi menceritakan khabarnya“ (QS. Al-Zalzalah : 4)

Namun jika masjid atau mushalla sempit, bisa saja seseorang meminta jamaah yang lain untuk bergeser ke tempatnya dan melaksanakan shalat sunnah qobliyah atau ba’diyah di tempatnya.

Tetapi jika memang tidak memungkinkan juga untuk bertukar tempat, maka tidak mengapa untuk melaksanakan shalat rawatib di tempat yang sebelumnya digunakan untuk melaksanakan shalat wajib

Qobliyah dan ba’diyah pada sholat Jama’ Qoshor

Walaupun sholat ini sangat dianjurkan, akan tetapi dalam kondisi menjama’ atau mengqoshor sholat, para ulama; mengatkan tidaklah disyari’atkan untuk memulainya dengan qobliyah atau menyudahinya dengan sholat ba’diyah.

Wallahu a’lam bis showab

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Sholat Witir

A. Pengertian

secara bahsa al-witru ((الوتر adalah lawan dari genap. Ganjil. seperti yag dalam ungkapan sebuah hadits :

إن للهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ

Sesungguhnya Allah SWT itu ganjil dan menyukai bilangan ganjil. (HR. Bukhari Muslim)

Sedang secara istlah ia adalah

صَلاَةٌ تُفْعَل مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ ، تُخْتَمُ بِهَا صَلاَةُ اللَّيْل

Shalat yang dikerjakan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar dan menjadi penutup dari shalat malam.

Dinamakan witir hanya karena ganjilnya bukan karena sebagai penutup sholat malam.

B. Dalil dan Hukum Witir

Mayoritas ulama’ menyatakan bahwa sholat witir adalah bagian dari sholat sunnah, bukan sholat wajib. Karena kewajiban sholat itu hanya terbatas pada sholat lima waktu yang Rosul SAW terima pada waktu isro dan mi’roj. Dalil adanya witir itu adalah:

إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ فَأَوْتِرُوا يَا أَهْل الْقُرْآنِ

Sesungguhnya Allah itu ganjil dan menyukai yang ganjil. Maka kerjakanlah shalat witir wahai ahli quran. (HR. Bukhari Muslim)


juga hadits :

كَانَ رَسُول اللَّهِ يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَل أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَيُوتِرُ عَلَيْهَا غَيْرَ أَنَّهُ
لاَ يُصَلِّي عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ

Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bertsbih di atas untanya kemana pun untanya menghadap, dan beliau SAW melakukan shalat witir di atasnya. Namun beliau tidak shalat fardhu di atas unta. (HR. Bukhari Muslim)

Di dalam hadits itu dijelaskan bahwa Rosul SAW tidak mengerjakan sholat wajib di ats onta, maka jelaslah bahwa witir itu bukn bagian dari kewajiban tapi ia hanya dihukumi sebagai sunnah muakkadah.

Hanya Imam Abu Hanifah yang mewajibkan sholat witir, maka bagi penganut madzhab Abu Hanifah kewajiban sholat mereka ada enam. Lima sholat ditambah satu sholat witir.

Akan tetapi ternyata Imam Abu Hanifah membedakan antara kata fardhu dengan kata wajib, sesuatu yang wajb bagi Imam Abu Hanifah tidk setara dengan fardhu. Karena siapa yang meninggalkan yang fardhiu maka dia dihukumi kafir dan tidak bagi yang meninggalkan yang wajib.

adapun dasar pendapat beliau tentang kewajiban sholat witir adalah:

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا

Witir itu kewajiban, siapa yang tidak melakukan shalat witir maka dia bukan bagian dari kami. (HR. Abu Daud)

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَدَّكُمْ بِصَلاَةٍ هِيَ خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ وَهِيَ صَلاَةُ الْوِتْرِ فَصَلُّوهَا
مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

Sesungguhnya Allah SWT telah menganugerahkan sebuah shalat yang lebih baik bagi kalian dari unta yang merah. Shalat itu adalah shalat witir. Lakukanlah shalat witir itu di antara shalat Isya’ dan shalat shubuh. (HR. Tirmizy)

Namun kewajiban itu terbantahkan dengan hadits lainnya yang mejelaskan bahwa kewajiban witir itu hanya bagi Rosul SAW saja. Dalilnya :

ثَلاَثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ : الْوِتْرُ وَالنَّحْرُ وَصَلاَةُ الضُّحَى

Ada tiga hal yang bagiku hukumnya fardhu namun bagi kalian hukumnya tathawwu’ (sunnah), yaitu : shalat witir, menyembelih dan shalat dhuha’. (HR. Ahmad)

C. Waktu Pelaksanaan

Dari definisi diatas sebenarnya sudah jelas bahwa waktu sholat witir itu adalah waktu diantara selesainya seseorang dari mengerjakan isya’ samapai sebelum datangnya shubuh. ini juga dikuatkan oleh sebuah hadits :

فَصَلُّوهَا مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

kerjakanlah shalat witir itu di antara shalat Isya’ dan shalat shubuh. (HR. Tirmizy)
Juga ada dalil lainnya yang menjelaskan bahwa Rosul pernah mengerjaan witir dalam rentang waktu setelah isya’ sampai sebelum datangnya subuh :

عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ : مِنْ كُل اللَّيْل قَدْ أَوْتَرَ رَسُول اللَّهِ مِنْ
أَوَّل اللَّيْل وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ

Tiap malam Rasulullah SAW melakukan shalat witir, terkadang di awal, di tengah dan di akhirnya. Shalat witirnya berakhir dengan di waktu sahar. (HR. Muslim)
Hanya saja para ulama’ menyatakan bahwa sholat witit diakhir malam itu lebih uatama ketimbang sholat diawal waktunya. Dasarnya adalah :

مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْل فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ
اللَّيْل فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْل مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَل

Dari Jabir radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam maka hendaklah dia melakukan shalat witir di awal malam. Namun siapa yang mampu bangun di akhir malam, lebih baik dia mengerjakan shalat witir di akhir malam. Karena shalat di akhir malam itu disaksikan dan lebih utama”.(HR. Muslim)

D. Sholat witir tanpa sholat tahajjud

dari pejelasan diatas dapatlah kita ambil kesimpulan sebenarnya sholat witir itu terpisah, ia bukan bagian dari sholat tahujjud. Hanya saja ketika kita mau mengumpulkan antara dua sholat tersebut maka hendaklah kita mendahulukan sholat tahajjudnya kemudian baru ditutup dengan sholat witir.

Sehingga sangat dianjurkan untuk sholat witir sebelum tidur malam jika kita tidak berniat untuk sholat tahajjud pada akhir malamnya. Hal ini pernah diwasiatkan Rosul SAW kepada para sahabatnya dalam sabdanya :

عَنْ أَبِي هُرَيرَة t قَالَ : أَوْصَانيِ خَليِليِ بِثَلاَثٍ : صِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
وَرَكْعَتَي الضُّحَى وَأَنْ أُوْتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Beliau berwasiat kepadaku untuk mengerjakan 3 hal : puasa 3 hari tiap bulan, 2 rakaat shalat dhuha, dan shalat witir sebelum tidur. (HR. Muttaqun 'alaihi)

Tetapi jika berniat dan yakin bahwa kita akan sholat tahajjud maka sholat witirnya diakhirkan menjadi penutup sholat tahajjud. dan ini yang dmaksud dengan penutup sholat malam.

E. ٍٍٍSudah terlanjur witir tapi masih ingin mengerjakan tahajjud??

Para ulama’ berbeda pendapat disini. Bagi mereka yang mengatakan bahwa witir adalah penutup sholat malam, maka tidak ada sholat malam lain setelah itu. Aan tetapi sebagian yang lainnya tetap membolehkan untuk sholat tahujjud walau witir sudah dikerjakan, dengan syarat sholat tahujjudnya tidak itutup dengan sholat witir lagi, karena adanay laragan untuk witir dua kali dala satu malam. Rosul SAW bersabda :

لاَ وِتْرَانِ فيِ لَيْلَةٍ

"Tidak ada dua witir dalam satu malam.'' (HR Ahmad)
F. Jumlah Roka’at

Dari definisi tentang witir teranglah bahwa witir itu boleh dikerjakan walau hanya dengan satu roka’at. karena satu juga masuk dalam hintungan ganjil. Ini juga dikutkan lagi oleh hadits Rosul SAW :

صَلاَةُ اللَّيْل مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ

Shalat malam itu dikerjakan dengan dua rakaat dua rakaat, apabila kamu takut datangnya waku shubuh silahkan shalat witir satu rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun yang jadi perbedaan adalah jumlah maximal dalam mengerjakan sholat witir. Pendapat yang paling kuat menyatakan bahwa jumlah roka’at maximal dari sholat witir adalah sebelas roka’at, hal itu didasarkan atas hadits :

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَل وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَل وَمَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَل

Siapa yang suka mengerjakan shalat witir dengan lima rakaat, silahkan kerjakan. Siapa yang suka mengerjakan shalat witir dengan tiga rakaat, silahkan kerjakan. Siapa yang suka mengerjakan shalat witir dengan satu rakaat, silahkan kerjakan.(HR. Abu Daud)

أَوْتِرُوا بِخَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ تِسْعٍ أَوْ إِحْدَى عَشْرَةَ

Lakukanlah shalat witir dengan lima, tujuh, sembilan atau sebelas rakaat.(HR. Abu Daud)

Namun ada pendapat lain yang membolehan untuk berwitir dengan tiga belas roka’at, dasarnya dalah :

قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - : كَانَ رَسُول اللَّهِ يُوتِرُ بِثَلاَثِ عَشْرَةَ رَكْعَةً
Ummu Salamah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat witir dengan tiga belas rakaat.(HR. Ahmad dan Tirimizy)

akan tetapi ada anggapan bahwa Ummu Salah menghitung sholat ba’diyah isyak ke dalam hitungan witir sehingga ia menjadi tiga belas.

G. Tata cara pelaksanaan witir

Jika witir yang dikerjakan hanya satu roka’at, maka tidak ada perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya. Namun yang menjadi perbedaan jika dikerjakan lebih dari satu roka’at. Dikerjakan tiga, dan seterusnya.

1. Sholat witir dikerjakan dengan dua salam, artinya witir dikerjakan dua roka’at dulu, lalu kemudian salam, kemudian dilanjutkan dengan satu roka’at lagi diakhiri dengan salam lagi.

cara seperti sudah akrab bagi hamper semua ulama’ mazhab kecuali Imam Abu Hanifah. Cara seperti ini dikenal dengan istilah fashl (dipisah). Adapun dasar dari tatacara tersebuat adalah hadit Rosul SAW :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَال : كَانَ النَّبِيُّ يَفْصِل بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمَةٍ
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi SAW memisahkan antara rakaat yang genap dengan rakaat yang ganjil dengan salam. (HR. Ahmad)

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ

Bahwa Ibnu Umar radhiyallahuanhu mengucapkan salam di antara dua rakaat, sehingga beliau memerintahkan beberapa kebutuhannya.

2. Cara kedua adalah mengerjakan dengan satu salam. Dasarnya adalah hadits Rosul SAW :
انَ وتِرُ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ إِلاَّ فِي آخِرِهَا
Rasulullah SAW pernah shalat witir dengan lima rakaat tanpa duduk tahiyat kecuali di bagian akhir. (HR. Muslim)

3. cara ketiga dikerjakan dengan satu salam, hanya saja ada duduk tahiyyat awalnya, cara ini mirip dengan cara sholat maghrib. Ini tata cara yang dimotori oleh mazhab Abu Hanifah, landasannya adalah perkataan Abu Al-‘Aliyah :

عَلَّمَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ أَنَّ الْوِتْرَ مِثْل صَلاَةِ الْمَغْرِبِ فَهَذَا وِتْرُ اللَّيْل وَهَذَا وِتْرُ النَّهَارِ

Para shahabat Nabi SAW mengajari kami bahwa shalat witir itu serupa dengan shalat Maghrib. Yang ini (shalat witir) adalah shalat witir malam dan yang itu (shalat Maghrib) adalah shalat witir siang.

Namun pendapat ini tidak terlalu kuat, jika dibandingkan dengan dua pendapat diatas lainnyaa. Bahkan sebagian ulama’ memakruhkan cara witir seperti ini.

H. Qunut dalam witir

1. Pendapat yang mewajibkan

pendapat ini didukung Imam Abu Hanifah, wajibnya qunut pada waktu witir dalam setiap waktu, baik di bulan Ramadhan atau bukan. Hanya tidak ada lafazh doa qunut khusus disini, semua doa bisa dipakai sesuai degan keiginan mereka yang mengerjakannya.

dalilnya adalah hadits Rosul SAW :

أَنَّهُ قَنَتَ فِي آخِرِ الْوِتْرِ قَبْل الرُّكُوعِ

Bahwa Nabi SAW melakukan qunut di akhir dari shalat witir sebelum ruku (HR. Tizmizy)

2. Pendapat yang membolehkan (sunnah)

Pendapat ini menyamakan antara qunut witir dengan qunut subuh. baik waktu dan tata caranya, begitu juga lafazhnya. Juga keharusan sujud sahwi sa’at lupa membacanya.

hal ini di pegang oleh kalangan mazhab syafi’iyyah, hanya saja mereka menjekasan bahwa kesunah qunut pada waktu witir hanya berlaku pada tengah terakhir bulan Ramadhan .

Wallahu a'lam bis showab
Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Mengapa harus belajar fiqih? Apa hukum mempelajarinya?

Mau atau tidak mau relitasnya kita semua membutuhkan fiqih dalam kehidupan ini, ada banyak kegiatan yang tidak bisa lepas dari fiqih, bahkan tidak berlebihan kalau dikatan kebutuhan fiqih itu dari tidur hingga tidur lagi, karenya ilmu fiqih itu merupakan :

1. Ajaran dengan jumlah porsi terbesar didalam syari’at Islam.

Jadi kalau kita bodoh tetang fiqih, maka akan sangat wajar kita disebut dengan –Islam KTP. KTP kita islam, tapi perilaku ibadah dan mu’amalah kita sangat jauh dari apa yang Islam ajarkan. Mulai dari sholat hingga bernegara kita berseberangan dengan ajaran kita sendiri .

2. Dengn fiqih kita kita memiliki kekayaan model dan cara dalam berkehidupan

karenadengan fiqih kita punya banyak pendapat untuk memudahkan kita dalam bergerak, sehingga menjadikan agama ini tidak mati sering perkembangan zaman.

3. Menjadi benteng dari masuknya faham Liberalisme, Sekuleris & Pluralisme.

Mereka yang faham fiqih setidaknya tidak mudah untuk terpengaruh dengan pola pikir orientalis yang sekarang tengah menjajah Indonesia juga dunia pada umumnya.


3. Dengan fiqih kita menjadi muslim yang enjoy.

Terkadang semangat yang mengebu-gebu dalam beragama tanpa dilandasi fiqihnya akan membuat pelakunya bersikap terlalu berlebihan, seakan hidup beragma ini tidak menjanjikan ketenangan dan kenyamanan.

Betapa orang yang tidak faham fiqih dulunya pernah mendapat teguran pedas dari Nabi.

Awalnya ada seorang sahabat yang memaksakan diri untuk mandi besar karena mimpi basah yang dia dapatkan, padahal waktu itu dai dalam eadaan terluka setelah peperangan, dia memaksakan dirinya mandi setelah mendapat keterangan dari sahabat yang lainnya bahwa tidak ada rukhshoh (keringanan) dalam hal ini. Akhirnya sahabat itu meninggal dunia karena dingin yang sangat. Tidak lama sampai juga cerita ini di telinga Nabi, lalu beliau berujar ”Kalian telah membunuhnya, maka Allah akan membunuh kalian”, lalu kemudian dilanjutkan dengan kalimat-kaimat fiqih yang keluar, ”Tidakkah mencukupkan diri dengan tayammum dalam kondisi seperti itu”?

*Hukum belajar fiqih?

Melihat pentingnya keberadaan fiqih dalam kehidupan kita seperti yang telah kita jelaskan diatas, maka tidak heran kalau belajar fiqih itu wajib ’ain hukumnya (Kewajiban yang tidak bisa diwakilkan kepada yang lain).

Ada begitu banyak dalil dari Al-Quran yang mewajibkan umat Islam mempelajari ilmu fiqih. Di antaranya ketika Allah SWT berfirman :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS. At-Taubah : 122)

Juga Rasulullah SAW bersabda dalam hadits beliau yang shahih :

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءَ حَتىَّ إِذَالمَ يُبْقِ عاَلِمًا اِتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya para ulama’ berpendapat bahwa belajar fiqih untuk kebutuhan fatwah dan sejenisnya maka hukumnya wajib kifayah, dimana ketika ada ada beberapa orang yang sudah memelajarinya secara mendalam untuk kepentingan tersebut maka gugurlah kewajiban yang lainnya.

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Apa itu Fiqih?

Sudah tidak menjadi barang asing bagi masyarakat Indonesia tentang istilah fiqih, istilah ini –bagi masyarakat kita- cenderung diartikan sebagai hukum. Ketika disebutkan kata fiqih maka pikiran kita akan langsung mengarah kepada bentuk hukum, wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.

Itu tidak salah, toh memang pada akhirnya nanti juga bakan mengarah kesana, walau serasa sangat penting kita mengetahui arti khusus dari fiqih itu sendiri yang oleh para ulama sudah dibuatkan pengertiannya.

Secara Bahasa

Fiqih secara bahasa artinya faham (Baik faham yang mendalam, maupun yang sifatnya biasa-biasa saja). Penjelasan ini dapat dilihat pada peggunaan Al-Qur’an yang memakai kata fiqih degan berbagai derivasinya, mialnya :

قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ

“Mereka berkata: "Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu (QS. Hud: 91)


Juga pada ayat berikut :
فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا

Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (QS. An Nisa: 78)

Secara Istilah

Adapun secara istilah para ulama mendefinisakan secara berbeda, hanya penulis lebih cendrung kepada definisi imam Syafi’i (Lihat : Syarh Jam’i al-Jawami’ 1/32, Syarhu al-Isnawi 1/24, Mir’atu al-Ushul 1/50) karena cakupannya lebih detail dan rinci sehingga sangat jelas dan sangat beda dengan definisi istilah lainnya.

Menurut beliau fiqih itu adalah :

الْعِلْمُ بِالأْحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيلِيَّةِ

”Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat pada bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil secara rinci,”

*Penjelasan definisi :

Ilmu : adalah pengetahuan mutlak, baik yang bersifat yakin maupun zhon, karena pengetahuan itu disa diperoleh dari dalil yang pasti (qoth’iy) maupun dalil yang bersifat zhonniy.

Hukum : Yang dimaksud dengn hukum disini adalah hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan manusia baik itu berupa perintah dan larangan (iqthidho’) atau pilihan (ikhtiyar) juga hukum disini berupa ketetapan yang disana manusia tidak punya andil (wadh’iy). Jadi fiqih itu adalah milik Allah utnuk hamban-Nya, peran manusia disini hanya menganalisis, memilih, serta menyimpulkan apa yang telah Allah firmankan dengan didukung oeh apa yang Rosul-Nya sabdakan.

Syar’iyyah (Syari’at) : hukum syari’at, fiqih tidak berbicara mengnai hukum logika, tata bahasa, dan semisalnya.

Amaliyah (perbuatan nyata) : bahwa fiqih itu tidak menyentuh wilayah perasaan, dan kejiwaan lainnya. Fiqih hanya memfokuskan diri pada hal-hal yang nyata, ia hanya menilai wilayah perbuatan nyata, adapun yang lainnya akan maka pembahasannya akan menjadi kepentingan cabang ilmu lain.

Yang diambil dari dalil yang rinci : itu artinya bahwa hasil ilmu fiqih ini diambil melalui teori-teori serta analisa terhadap sebuah dalil, baik dari Al-Qur’an, hadits, ijma’ maupun qiyas. Ia tidak hadir degan begitu saja, tidak seperti 3+4=7, maka seketika pikiran kita akan mengatakan tujuh. Hadirnya fiqih melalui sebuah proses analis dalil-dalil yang dilakukan para mujtahid. Jadi fiqih itu tidak bersandar mutlak kepada akal, tetapi akal hanya membantu unutuk analisa dalil yang ada.

Wallahu a'lam bisshowab

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Kenapa harus fiqih? kan sudah ada Al-Qur’an dan Hadits?

Fiqih adalah sebuah ilmu yang bersumber dari pengkajian Al-Qur’an dan Hadits serta dalil-dalil lainnya melalui pendekatan kajian ushul fiqih, dan bahwa tidak setiap kita bisa memahami dengan sendiri apa yang Al-Qur’an kehendaki dan apa yang Hadits maksudkan. Jadi analisis itu semua kita serahkan kepada para ahlinya yang lebih dikenal dengan sebuatan Mujtahid.

Mujtahid itu adalah sebutan untuk ulama-ulama yang memang keilmuan tentang kislamanya sangat mendalam. Tidak mudah dan bahkan sepertinya di negeri kita Indonesia tidak ada ulama yang pantas untuk menempati posisi itu, para mujtahid itu seperti Ima Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik juga Imam Ahmad bin Hambal, juga Imam-imam lainnya yang telah disepakati kemujtahidannya.


Lebih jelasnya bahwa :

#Fiqih itu landasannya wahyu ilahi

Baik itu Al-Qur’an maupun Hadits. Ketika kita mempelajari fiqih maka sama saja kita juga mempelari keduanya, jadi tidak ada yang bertentagan antara hadirnya fiqih dengan keberadaan dua pusaka yang Rosul shollallahu alaihi wasallam wariskan.

#Fiqih itu mencakup semua kebutuhan hidup

Karena fiqih bersumber dari wahyu Ilahi maka tidak heran bahwa fiqih itu mencakup semua kebuthan hidup, jadi tidak ada ruginya kita belajar fiqih dan menginduk kepada fiqih bukan kepada hukum-hukum yang dibuat oleh manusia yang jelas-jelas bukan bersumber dari wahyu Ilahi. Karena fiqih itu untuk dunia dan akhirat, dia adalah agama dan negara, untuk semua suku dan etnis serta warga negara, juga layak dipakai hingga hari kiamat.

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Fiqih itu Alat

Fikih itu alat, tidak lebih. Jika al-Qur’an dan Hadits itu kita ibaratkan rumah, makanya kuncinya adalah fiqih. Dan kita akan merasa kesulitan untuk memasuki rumah itu jika kita tidak mempunyai kuncinya, bisa sih masuk lewat jendala, tapi hawatirnya disangka maling, pinginny nyaman dengan memasuki rumah, tapi ternyata malah benyok-benyok dihantam tinjuan dari masyarakat, karena disangka maling.

Allah swt. sudah menurunkan al-Qur’an dengan ribuan ayatnya, dan Rosul juga sudah mewariskan kepada kita hadits-haditsnya yang sangat banyak itu, lalu bagaimana mengambil kesimpulan dari ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut?
Tentunya kita membutuhkan sebuah cara, lebih kerennya kita sebut dengan metodologi yang bisa mengantarkan kita untuk bisa memahami dalil-dalil itu dengan baik dan sempurna.

Dan itulah tugasnya fiqih, yang memungkinkan dengannya kita bisa sampai kepada sebuah kesimpulan tentang sebuah hokum permasalahan dengan landasan ayat-ayat yang banyak tadi, dan didukung dengan hadit-hadits yang sudah Rosul wariskan.
Sebaliknya, tanpa penguasaan ilmu fiqih, Al-Quran dan Hadits bisa diselewengkan dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar,atau difahami dengan salah sehingga membuatnya sesat dan mungkin juga dianya menyesatkan orang lain juga, padahal yang sesat itu bukan al-Qur’an dan Haditsnya, melainkan mereka yang menggunakannya itu tidak memunyai kuncinya, maka ilmu fiqih adalah kunci untuk memahami Al-Quran dan As-Sunnah dengan metode yang benar.


Di dalam Al-Quran dan hadits disebutkan bahwa pencuri harus dipotong tangannya, pezina harus dirajam, dan seterusnya. Memang demikian zahir nash ayat Al-Quran dan Hadits. Namun benarkah semua pencuri harus dipotong tangannya?. Apakah semua orang yang berzina harus dirajam?

Di dalam ilmu fiqih akan dijelaskan kriteria pencuri yang bagaimanakah yang harus dipotong tangannya. Tidak semua orang yang mencuri harus dipotong tangan. Ada sekian banyak persyaratan yang harus terpenuhi agar seorang pencuri bisa dipotong tangan. Misalnya barang yang dicuri harus berada dalam penjagaan, nilainya sudah memenuhi batas minimal, bukan milik umum dan lainnya. Bahkan kriteria seorang pencuri tidak sama dengan pencopet, jambret, penipu atau koruptor.

Demikian juga dengan pezina, tidak semua yang berzina harus dihukum rajam. Selain hanya yang sudah pernah menikah, harus ada empat orang saksi lakil-laki, akil, baligh, dan menyaksikan secara bersama di waktu dan tempat yang sama melihat peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan. Tanpa hal itu, hukum rajam tidak boleh dilakukan. Kecuali bila pezina itu sendiri yang menyatakan ikrar dan pengakuan atas zina yang dilakukannya. Dan yang paling penting, hukum rajam haram dilakukan kecuali oleh sebuah institusi hukum formal yang diakui dalam sebuah negara yang berdaulat.

Dan begitu seterusnya, tanpa fiqih banyak orang yang salah kaprah dalam memahami nash al-Qu’an dan Hadits. Semangat keislaman yang begini –berislam tanpa dilandasi dengan ilmunya- justru malah menjadi perusak islam itu sendiri. Sekali lagi, fiqih itu alat. Alat yang bisa menjadi pegangan kita dalam menyimpulkan hokum-hukum dalam al-qur’an dan hadits yang jumlah sangat banyak itu, dan seterusnya barulah kita bisa menjalankan isi al-Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar.

Wallahu a’lam bisshowab

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Khutbah Jum’at

Sudah bukan menjadi hal yang aneh lagi, jika pada sholat jum’at selalu ada khutbahnya. Rosulullah SAW sangat menganjurkan bagi setiap muslim laki-laki, baligh, tidak dalam perjalanan juga tidak sakit untuk bergegas pergi ke masjid pada hari jum’at agar bisa mendengarkan khutbah jum’at dari awalnya.

Khutbah itu bagian dari syarat sahnya sholat jum’at, itu artinya jika tidak ada yang khutbah dalam rangkaian sholat tersebut, maka tidak sah sholatnya.

Ada sebuah cerita, yang datangnya dari sebuah pedalaman di sumatera sana, penulis sendiri pernah hidup lama disana. Waktu itu hari jum’at, semua orang sudah bersiap dari rumah masing-masing untuk pergi ke masjid guna melaksanakan sholat juma’at, anehnya belumlah mereka melaksanakan rangkaian sholat tersebut, tiba-tiba mereka semua keluar dari masjid itu, dan tidak jadi sholat, setelah ditanya-tanya ternyata waktu itu sang khotibnya lagi keluar desa, dan ustad yang satuya lagi juga tidak ada di tempat, parahnya lagi tidak ada yang mau dan bisa untuk menggantikan posisi khotib di hari itu. Akhirnya mereka semua pulang.

Ini cerita bukan bohongan. Penulis sendiri pada waktu itu masih duduk di bangku SD, yang penulis pikirkan pada waktu apakah khutbah jum’at itu memang perkara yang sulit? sehingga sesulit itu semua orang rela pulang, tidak mau dan tidak jadi sholat jum’atnya.


Ada juga cerita lainnya yang penulis sendiri pernah lihat, pada waktu itu sang khotib yang tengah khutbah di atas mimbarnya ditegur oleh jama’ah dari bawah. “Sholawat, sholawat” dengan suara yang keras da kurang enak didengar, mungkin maksudnya menegur hotib yang mungkn lupa baca sholawat, atau memang tidak membaca sholawat, atau mungkin juga baca sholawat tetapi degan versi yang lain sehingga kedengarannya itu bukan sholawat, padahal itu sholawat.

Untuk yang kedua kalinya penulis berpikir, apakah khutbah jum’at itu memang harus ada showalawatnya, dan jika tertinggal, atau sang khotibnya malah tidak menyebutkannya menjadi batal?

lalu sebenarnya bagaimana khutbah jum’at itu?

Setelah kita membuka kembali buku-buku fikih, ternyata cukup melegakan hati, rupanya kita punya banyak versi dalam berkhutbah jum’at, mudah-mudahan dari sini bisa memudahkan kita untuk bisa khutbah jum’at, atau setidaknya kita tidak menyalahkan sang khotib jika memang berbeda versi khutbahnya dengan khutbah yang salami ini kita pegang:

1. Versi pertama

Pemaknaan khutbah itu diserahkan kepada adat kebiasaan setempat, maka setiap ucapan yang tersusun yang itu bagi sebuah masyarakat sudah termasuk dalam katagori khutbah bagi merka, maka sah berkhutbah degan yang seperti ini, sebagimana sahnya jika itu dilakukan berdiri, atau duduk, khutbah dua kali atau hanya satu kali, baik menggunakan bahasa arab atau memakai bahasa lainnya (Inggris, Jepang, Cina, Indonesia, Jawa, Junda, Sumatera, dll).

Mereka juga berpedapat boleh berkhutbah walau dengan lafazh tahmid, tasbih, tahlil saja, karena yang diminta dalam al-Qur’an hanya dzikir secara umum, firman Allah :
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ

Versi seperti ini yang diambil oleh mazhab Abu Hanifah. Hanya saja khutbah itu harus dilaksanakan sebelum sholat.

2. Versi kedua

Berkhutbah dengan katagori sependek-pendekn khutbah dalam bahasa arab, contohnya hanya dengan mengcap:

اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا أَمَرَ ، وَانْتَهُوا عَمَّا عَنْهُ نَهَى وَزَجَر

“Bertaqwalah kalian keada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan, dan jauhilah apa yang Dia larang"

sah khutbahnya, walau tanpa ada tambahan yang lainnya. Namun tidak sah jika hanya bertasbih, tahlil, da takbir saja.

Versi yang kedua harus memakai khutbah dua kali, tidak sah bagi mereka jika hanya khutbah satu kali saja. Kerana Rosul SAW dalam berkhutbah juma’at selalu memakai dua kali khutbah. Pendapat ini adalah pendapat mazhab Maliki.

3. Versi ketiga

Versi berikut ini dengan memakai dua kali khutbah dan harus memenuhi beberapa ketentuan berikut:

a. Harus ada puji-pujian
b. Harus ada sholat kepada Nabi SAW dan memakai lafazh sholawat yang sudah masyhur
c. Harus ada wasiat ketakwaan, dengan lafzh yng tidak mengikat. Artinya boleh. berwasiat dengan variasi berbeda asalkan itu bermakna wasiat kepada ketakwaan.
d. Berdo’a (pada khutbah kedua)
Di dalam khutbah itu ada membaca ayat al-Qur’an (disunnahkan membacanya pada khutbah pertama).

adapun poin a, b, dan c harus ada pada khutbah pertama dan kedua. Versi seperti ini bersandar kepada cara berkhutbahnya Rosul SAW. Dan yang ini lebih dikenal di Indonesia karena ini yang dipakai oleh mazhab Imam syafi’i.

4. Versi keempat

Versi yang keempat ini juga memakai dua kali khutbah, dengan memperhatikan poin-poin berikut:

a. Ada puji-pujian
b. Juga ada sholawatnya
c. Ada mau’izhohnya (peringatan) karena sebenarnya inilah inti khutbah.
d. Memaba ayat al-Qur’an
e. Mengeraskan suara
f. al-Muwalah (berurutan atau tidak diselang waktu) antara khutbah pertama dengan kedua, juga tidak diselang waktu antara khutbah kedua dengan sholat. Dan yang terakhir ini adalah versi Imam Ahmad bin Hambal.

Inilah beberapa versi berkhutbah pada hari jum’at yang bisa dipakai sesuai dengan kebutuhan dimana kita hidup, jika kita hidup di Indonesia pakailah versinya Imam syaf’I, namun jika ada yang berkhutbah dengan versi yang berbeda jangan disalahkan, toh semuanya bisa dipakai tergantung dengan selera masing-masing.

Dari pada nanti ujung-ujungnya semua pada pulang gara-gara khotib berhalanagan hadir, dan tidak ada yang bisa berkhutbah dalam versi Imam syafi’I, atau dari pada nanti timbul keributan di masjid-masjid, hanya karena sang khotib memakai versi yang berbeda dari yang selama ini kita ketahui.

Wallahu a'lam bisshowab,

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Dilamar Tiga Pemuda, Aku Pilih yang Mana ya?

Fathimah binti Qais. Perempuan yang hidup pada zaman Roaul saw. Kalau mau cemburu, bolehlah cemburu dengannya. Pasalnya perempuan ini dilamar oleh tiga pemudah dalam waktu yang hampir bersamaan. Hem, beda dengan sekarang. Sebagian perempuan bersedih, lantaran belum ada yang mau mengetuk pintu rumah orang tuanya. Maka sekali lagi, cemburulah dengannya!

Qaispun bingung, tiga pemuda yang bukan sembarang pemuda. Abu Jahm bin Huzdaifah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Usamah. Mereka semua sahabat Rosul saw. yang tidak diragukan lagi kadar keimanannya. Itu artinya jika dilihat dari sisi agama, mereka semua patut diacungi dua jempol sekalian. Bila perlu tidak berlebihan jika dua jempol kakipun kita kasih, lantaran keimanan mereka yang tidak diragukan lagi.


Qais mendatangi Rosul saw meminta pendapat perihal kebingungannya tadi. “Abu Jahm itu orangnya la yarfa’ ashohu ‘anin nisa’ (agak sedikit kasar dengan perempuan), sedangkan Mu’awiyah tidak punya harta (fakir). Jika berkehendak nikahkanlah dengan Usamah” begitu akhirnya Rosul saw memberi petuah. Dan akhirnya “Barokallahulaka wabaroka ‘alaika wajama’a bainakuma fi khoir”

Agama memang syarat utama, namun yang lainnya juga tetap menjadi penilaian. Kematangan psikologis, juga kematangan finansial juga menjadi hal yang sangat dipertimbangkan demi kebahagiaan rumah tangga. Bukankah menikah itu untuk bahagia? Dan bahagianya bukan hanya untuk satu, dua bulan? Sebelum berbahagia di syurga sana, tidak salahnya disini juga kita sudah berbahagia.

Bertanyalah kepada Anis Matta tentang yang dua itu, atau kepada yang umur pernikahannya diatas 20 tahun, kau akan dapati bahwa mereka juga akan meng-iyakan kebenaran cerita di atas.

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Facebookan Pada Waktu Khutbah Jum’at?

Hampir setiap Masjid penuh pada hari jum’at, apa lagi di Ibu kota (Jakarta). Kadang saya sendiri kagum, begitu kuat iman-iman mereka yang tinggal di Ibu kota, karena kagum pastiya juga bangga.

Mereka seakan semangat sekali melangkahkan kakinya menuju tempat Ibadah. Dikantor-kantor pun biasanya ada rungan yang disulap menjadi masjid walau hanya pada hari jum’at saja. Bahkan penulis sndiri pernah khutbah juma’at di salah satu studio televisi swasta di Jakarta sini, dan lagi-lagi full jamaahnya. Subhanallah.

Namun ada perilaku ‘menarik’ yang membuat saya merasa risih akhir-akhir ini, ada penomena dimana jama’ah sholat juma’at sekan tidak mempunyai perhatian dengan khutbah jum’at. Seakan mereka berkreasi dalam menghabiskan waktu pada waktu khotib sedang berkhutbah, entah dengan cara menidurkan diri (ngantuk), ngobrol, main hape, buka facebook, twitter, chating, baca selebaran, dll.

Lalu sebenarnya apa sih hokum mendengrkan khutbah jum’at itu?

1. Pendapat Pertama:

Imam Hanafi, Maliki, Hambali dan Auza’I mengatkan bahwa wajib hukumnya mendegarkan khutbah jum’at. Pendapat ini juga pendapat sahabat Utsman bin Affan, Abdullah bin Umar dan Ibnu Mas’ud. Mereka bersikeras mengatakan ini, mengingat pentingnya mendengarkan khutbah, sehingga Imam Abu Hanifah mengatakan: “Semua hal yang diharamkan ketika sholat, haram juga dilakukan ketika sedang mendengarkan khutbah”. Semisal makan, minum, ngobrol, bertasbih, menjawab salam, bercanda. Apa lagi sampai mainin hape, facebookan. Jika bertasbih saja mereka menganggap hal ini tidak boleh dilakukan ketika khutbah, apa lagi untukperkara facebookan.


Dalil pendapat pertama:

a. Keumuman ayat Allah:

وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون

204. dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat[591].

Ko spertinya dalilnya kurang pas? Kata siapa?

Sudah bisa dipastikan bahwa dalam khutbah jum’at itu pasti ada ayat al-Qur’annya, karena itu tidak layak bagi jama’ah untuk main-main ketika khotib sedang berkhutbah.

b. Hadits Nabi Muhammad saw:

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ: أَنْصِتْ - وَالإِْمَامُ يَخْطُبُ - فَقَدْ لَغَوْتَ.

“Jika kamu berkata: “Hei, diam!” kepada temanmu, padahal itu sa’at khutbah juma’at berlangsug. Maka itu perkataan yang sia-sia (Tidak ada manfa’atnya). (HR. Bukhori)
Karena perkataan sia-sia semestinya tidak keluar dari mulut seorang muslim, apa lagi sa’at ibadah juma’at seperti ini.

c. Karena khutbah jum’at tu setara dengan dua roka’at. Jadi jika lalai dari mendengarkannya, maka seakan kita lalai dari dua reka’at sholat kita.

d. Mengingat pentingnya belajar agama, mendengarkan ayat-ayatNya, serta mentadaburi hadits rosulNya yang banyak disamoaikan untuk pemahaman agama, serta penigkatan iman kita semua.

2. Pendapat kedua

Imam Syafi’I bahwa mendengarkan khutbah itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Akan tetapi mereka memakruhkan adanya pembicaraan ketika khutbah sedang berlansung.

Makruh disana maksudnya dalah makruh berbicara yang baik-baik. Semisal berbicara menuntun orang buta yag mau sholat, makruh menjawab salam, makruh menegur teman samping yang mau digigit kalajengking, dll. Adapun jika ‘ngobrol’ yang tidak ada perlunya itu bisa dipastikan bahwa Imam syafi;I jga akan mengharamkannya. Apa lagi jika beliau tahu tentang main hape, facebook dan segala macmnya itu, so pasti beliau juga akan mengharamkan perkara seperti ini.

Dalil pendapat kedua:

Sama dengan dalil pendapat pertama, baik al-Qur’annya maupun haditsnya. Hanya saja mereka menambhakan hadits berikut:

وَخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَنَسٍ: فَبَيْنَا رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَقَال: يَا رَسُول اللَّهِ، هَلَكَ الْمَال وَجَاعَ الْعِيَال فَادْعُ لَنَا أَنْ يَسْقِيَنَا. قَال: فَرَفَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ وَمَا فِي السَّمَاءِ قَزَعَةٌ…

“Dari Anas ra. Ketika Rosul saw sedang berkhutbah pada hari jum’at, tiba-tiba ada seorang Arab badui yang bediri, lau berkata: Ya Rosulullah, banyak harta benda yang hancur, banyak keluarga yang kelapran, maka berdo’alah untuk kami agar Allahmenurunkan hujan. Maka Rosulullah mengangkat tangannya dan berdo’a… (HR. Bukhori)

Dari hadits ini Rosul tidak melarang orang arab badui ini berteriak seperti itu, jika memang berkata sa’at khotib sedag berkhutbah itu wajin 100% tanpa terkecuali, sudah baraang tentu Rosul saw akan melarangnya.

Jadi, jika melihat kembali beberapa penomena baru yang sekarag sering terlihat dibanyak masjid ketika khutbah jum’at tengah berlangsung, baik mereka yan ngobrol, canda, main hape, facebook, twitter, baca Koran, baca selebaran jelas-jelas ketidak bolehannya. Bisa dibilang haram. Haram dilakan pada sa’at itu. Jika haram pastinya berdosa.

Anggap saja saholat jum’atnya sah dan berpahala, akan tetapi diwaktu yang bersamaan mereka juga mendapat dosa. 1pahala-1dosa=0, akan tetapi jika nilai jum’at kita 10 dan nilai dosa main hape 50, maka kita rugi 40. Alangkah lucunya gara-gara sholat juma’at kok malah mendapat dosa yag 40 itu.

*Untuk Para Khotib Jum’at

Tentunya perkara diatas tidak mutlak kesalah jama’ah saja, bisa jadi itu juga bagian dari kesalahan para Khotib yang kadang ‘kurang’ menarik khutbahnya, atau suaranya tidak jelas, atau pembahsannya yang tidak difahami, mungkin juga khutbahnya terlalu lama. Sehingga gara-gara itu jama’ah merasa bosan, dan akhirnya mencari alternative lain. Mulai dari tidur, ngobrol, main hape, dll.

Khutabah tidak harus panjang lebar, tidak mesti berjam-jam. Apalagi jika berkhutbah di lingkungan perkantoran. 20 menit itu sudah maksimal. Jika terlalu panjang, sepertinya khotib tidak faham dengan fiqih berkhutbah.

Menurut penulis, untuk puji-pujian dan sholawat tidak usah lagi diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, bukankah puji-pujian dan sholawat serta wasiat itu sudah diucapkan oleh khotib dalam versi arabnya? Jadi untuk apa lagi diulang.
Langsung saja kemateri khutbah. Dengan begitu 20 menit menjadi waktu yang pas untuk mengurai khutbah yang menarik dan padet pesannya.

Wallahu A’lam bissowab

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Belajar Tafsir = Belajar Fiqih

Fiqih itu bak sebuah makanan yang sudah siap saji, dan pastinya siap untuk disantap. Diolah dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Adapun bahan mentahnya adalah al-Qur’an dan Hadits Rosul saw.

Maka fiqih adalah akumulasi dari dari dua bahan dasar yang besar ini, ditambah dengan ijma’ dan qiyas. Namun jika bahan dasar ini kita preteli satu-satu, maka kita akan menemukan gaya lain baru dari fiqih itu sendiri, bentuk dan modelnya bukan bentuk fiqih, akan tetapi rasanya tetap fiqih.

Sama halnya dengan jenis makanan Palembang; pempek dan tekwan, dua-duanya berbahan dasarkan gandum dicampur dengan ikan dan lainnya, namun bentuk kedua makanan ini sanga berbeda. Pempek biasanya lebih besar dari tekwan yang bentuknya hanya buletan-buletan kecil yang has itu, jika pempek lebih enak dimakan dengan kuah cuka, beda halnya dengan tekwan yang punya kuah tersendiri.

Jika kita berbicara fiqih hanya ditinjau ditinjau dari bahan dasar al-Qur’an saja, tentunya sedikit ditambah dengan sedikit bahan lainnya untuk kelengkapan rasa, maka kita akan menemukan bahwa yang demikian lebih dikenal dengan sebutan “Tafsir Fiqih” atau dalam istilah lain disebut dengan istilah “Tafsir Ayat Ahkam (hokum)”, yang demikian karena corak penafsiran ini hanya memfokuskan pada ayat-ayat hukum yang ada di dalam al-Qur’an, untuk kemudian mereka kumpulkannya dan akhirnya menjadi pembahsann tersendiri yang rasanya adalah rasa fiqih.


Dan Pastinya Rosul saw adalah manusia pertama yang berhak menyandang gelar mufassir (Ahli tafsir) baru kemudian disusul dengan para sahabat dan tabi’in dan seterusnya. Hanya bentuk tafsir yang secara husus membahas masalah fiqih ini baru mulai berkembang setelah masa kodifikasi. Akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.

Sebenarnya hampir setiap kitab tafsir akan menyentuh wilayah ini, hanya porsinya saja yang berbeda, ada yang sekedarnya saja, ada juga yang ‘lumayan’ merincinya, namun ada juga yang memang benar-benar memberikan kepada kita penjelasan yang banyak dan detail sekali ketika membahas tentang ayat-ayat hukum, sehingga ketika kita membacanya seakan-akan kita bukan membaca tafsir, melainkan kita sedang disuguhi nuansa fiqihnya yang sangat kental.

Pada pembahsan perdana ini penulis akan sedikit memberikan beberapa contoh penafsiran yang nuansa fiqihnya sangat kental, diantaranya adalah:

1. Ahkam al-Qur’an,disusun oleh al-Imam Hujjat al-Islam Abi Bakr Ahmad bin Ali al-Razi, al-Jasshash (303-370 H/917-980M), salah seorang ahli Fiqih dari kalanganmadzhab Hanafi.

2. Ahkam Al-Qur’an al-Kiya al-Harasi, karya al-Kiya al-Harasai (w. 450 H/1058 M),salah seorang Mufassirin berkebangsaan Khurasan

3. Ahkam al-Qur’an Ibn al-Arabi, merupakankarya momumental Abi Bakar Muhammad bin Abdillah, yang lazim popular dengan sebutan Ibnul ‘Arabi (468-543 H/1075-1148M)

4. Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa a-Mubayyin lima tadzammanahu minal-as Sunnah waayi al-Qur’an (himpunan hukum-hukum al-Qur’an dan penhjelasan terhadap isi kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Qur’an), pengarangnya adalah abiAbdillah Muhammad al-Qurthubi (W. 671 H./1272 M)

5. Tafsir Fath al Qadir, karya besar Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullahal-Syaukani ( 1173 – 1250 H/1759 -1839 M)

6. Tafsir Ayat Al-Ahkam, disusun oleh Syaikh Muhammad Ali As-Sayis

.Awalnya beliau menulis ini hanya untuk kepentingan internal kampus saja, yang kebetulan beliau pada waktu itu sedang mengajar di fakultas syari’ah walqonun pada Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Namun akhirnya buku ini di terbitkan dan ternayat mendapat respon yang sangat positif dari masyaratka muslim dunia, sehingga buku ini juga laris manis di Negara kita Indonesia, terutama bagi kampus-kampus yang menjadikannya buku wajib dalam mata kulia tafsir ahkam.

Akhirnya, inilah model lain dari bagaimana kita belajar fiqih, belajar fiqih lewat metode tafsir, sehingga dengan demikian semakin banyak cara yang kita pakai dalam belajar fikih akan semakin membuat kita lebih faham dengan fiqih, itulah yang sudah dilakukan oleh ulama-ulama kita terdahulu, sehingga akan sanagt wajar mereka sangat fiqih (faham) dengan agama mereka, terkhusus yang berkaitan dengan permasakahn hukum islam.

Berharap dari sana kita semua, penduduk Indonesia yang mayoritas muslim ini akan semakin melek fiqih. Menuju Indonesia yang lebih baik.

bersambung dalam tulisan berikutnya #TafsirAyatAhkam...:-)

Wallahu A’lam Bisshowab

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Suami ga keren, aku minta cerai

“Ya Rosul, suamiku ga keren, orangnya ga pinter berhias didepanku, aku minta cerai aja boleh ya? Begitu dulunya ada seorang istri berkeluh. Dia yang berkeluh itu adalah istrinya Qais bin Tsabit. Dan seterusnya mereka cerai. Tragis memang. Tapi begitulah.

Sepenggal cerita yang bisa dicerna buat para lelaki. Selama ini banyak yang menuntut para istri kudu banyak berhias didepan suaminya, yang ujung-ujungnya si laki marah-marah ketika mendapati istrinya kusut-mayut. Tapi sekarang, dicerita tersebut, Rosul saw juga memberikan perlakuan yang sama buat suami. ‘Istri boleh minta cerai, jika suami tidak menyenangkan’ pengotorlah misalnya, wajahnya tidak terurus, badannya bau ketek, dan seterusnya.

Memang begitulah seharusnya. Saya sendiri kadang ‘prihatin’ melihat sebagian laki-laki yang tidak pandai berhias. Berhias itu tidak mesti mahal, rapi itu tidak mesti keluar banyak duit, wangi itu tidak mesti beli parfum di mall-mall yang bayarnya pakai dollar itu. Apalagi kalau dirumah, laki-laki itu paling sedikit kerjanya. Udah ga sibuk, diri ga keurus, huh.


Tapi yang ada malah sebaliknya, setelah mandi, berpakian rapi, ditambah dengan parfum yang wanginya selangit, laki-laki justru keluar menemui temen-temenya diluar sana, sementara istrinya di rumah, dan dia (suami) tidak pulang kerumah istrinya kecuali penampilanya sudah kembali kusut.

Amboi, sedihnya nasib yang di rumah. Padahal istri juga punya hak yang sama, sebagimana suami punya hak terhapnya. Sebagaimana suami menuntut istri untuk bisa berhias dihadapannya, istri juga menuntut hal yang sama agar suami berhias dihadapan mereka. Karena sebenarnya istri itu bukan pembantu, tapi seorang ratu, yang jika bertemu dengannya haruslah dengan pesona sang raja.

Jika tidak demikian, jangan salahkan jika sang ratu ini akan melirik raja-raja yang ada dinegri sebelah, untuk kemudian dia berkata kepada pengadilan, “ceraikan aku dari suamiku”

Saiyid Mahadhir,Lc
Selengkapnya...

Nikah siri; Enak ya?

Alih-alh pingin menikah dengan niat semaunya, tidak sedikit orang kita [Indonesia] juga orang luar lainnya memih jalur nikah siri sebgai jalan pernikahannya. Bolehkah nikah siri itu?

*Pendapat pertama :

Ada yang bilang bahwa nikah siri adalah pernikahan yang sesuai dengan ketentuan syariat islam, syarat dan rukunnya semua terpenuhi, hanya saja pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

ini adalah pengertian yang paling serig kita pahamami ketika disebut kata nikah siri. Mereka mengatakan bahwa nikah seperti ini sah dan tidak masalah, akan tetatapi mengapa ternyata dari jenis perikahan seperti ini justru menimblkan masalah baru lagi?.

untuk itu para ulama fiqih sering mengungkapkan sebuah kaidah yg menunjukkan bahwa “sebuah urusan itu sah secara agama tapi tidak sah secara hokum” atau sebalikya “sebuah perkara itu sah secara hokum namun tidak sah secara agama”.
Karena pada dasarnya tidak ada pertentangan antara legalitas hokum agama denga hokum permerintah yag mempunyai maslahat kebaikan untuk masyarakatnya. keduanya sama-sama wajib dita’ati. Firman Allah :

يا أيها الذين امنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فان تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.


Dengan tidak terpenuhi syarat pernikan secara hokum positif pemerintah, maka akan ada banyak mudhorat yang muncul dari hasil pernikahan itu. Padahal Islam justru mengingankan seseorang menikah itu untuk bahagia dan meraih kenyamanan, akan tetapi yang didapat malah ketidak jelasan status hubngan itu dimata pemerintah yang nanti akan berdamapak kepada perkara-perkara lainnya semisal masalah waris, nasab anak, ketika anak mau sekolah, anak memperoleh akta, cerai, nafkah keluaga, KDRT, hak bekerja, hak mendapatkan keamanan dalam perjalanan, hak mendapatkan bantuan, dan banyak lagi, bagaimana mungkin pemerintah akan bisa memberikan semua pelayanan itu jika tidak ada bukti formal dalam pernkahan.
Bukankah Islam menghindaki pernikahan itu di umumkan? Tetapi mengapa malah disembunyikan? dan bahkan Islam mengendaki pernikaan itu di masjid, sehingga semua orang tahu bahwa si A menikah dengan si B, Islam juga mencintai jika acara yang sangat sacral itu ada pesta walihamannya yg di dalamnya di pukul “robanahan”. Iitu semua mennjukkan bahwa Islam sangat mewanti-wanti adanya perniakhn dengan jalan bawah tangan. Rosul bersabda :

أعلنوا هذا النكاح، واجعلوه في المساجد، واضربوا عليه بالدفوف، وليولم أحدكم ولو بشاة،

“Umumkanlah pernikahn itu, adakanlah ia di masjid, dan pukullah “robanahan”, dan buatlah pesta walihamahan walau hanya dengan menyembelih satu kambing”

Dalam masalh hutang saja Islam meminta akan adanya surat hutang, atau yang semisalnya yang nantinaya akan berguna sebgai bukti formal adanya taransaksi hutang piutang antara dua orang, nah.. untuk urusan hutang piutang saja Islam ingin seperti itu, maka setidaknya melalui penjelasan diatas urusan pernikahan harus lebih dipehatiakan legalitasnya, ada bukti nyatanya, ada surat-menyuratnya.

dan ternyata mudhorat itu lebih banyak didapat oeh perempuan. Pernikaan bagimana itu, jika malah banyak menimbulkan permasalahn yang berakar dari tidak diketahui oleh pemerintah?

akan tetapi nikah siri memang tetap lebih enak ketimbang kumpul kebo yang lebih menyeramkan, dan jelas-jelas sangat menghancurkan itu. Walaupun nikah siri itu ada kalanaya menjadi penghalang mendapatkan kebahagian dari diadakannya pernikahan itu. Yah, kalau menikah harus bahagialah, iya kan?

*Pendapat kedua :

Bahwa yang dimaksud dengan nikah siri itu adalah pernikhan dengan wali yang tidak sah menurut Islam. Biasanya ini jenis pernakahan yang dipaksakan tanpa persetujuan orang tua (Ayah). Gara-gara orang tua tidak setuju, akhirnya nekat mencari wali lain untuk bisa menikahkan mereka.

tentu saja ini jelas-jelas haramya, karena posisi ayah itu sangat kuat dalam per-walian, posisinya tidak bisa tergantikan dan tergoyahkan, kecuali jika sang Ayah mewakilkannnya dengan kerabat atau orang lain, selebihnya tidak ada yang bisa menggantannya kecuali Negara dalam kasus-kasus tertentu.

لا نكاح إلا بولي، وأيما امرأة نكحت بغير إذن وليها، فنكاحها باطل، باطل، باطل، فإن لم يكن لها ولي، فالسلطان ولي من لا ولي له

“Tidak ada ada pernikahan kecuali dengan adanya wali, dan perempuan mana saja yang menikah tanpa ada izin dari walinya makan pernikahan itu batal, batal, batal. Jika tidak ada wali (karena sebab-sebab tertentu) maka Negara adalah walinya orang yang tidak punya wali”

*Pendapat ketiga :

Pendpat ini menganggap bahwa nikah siri itu adalah nikah laginya seorang suami yang tidak memberi tahu istrinya yang ada. Nah, dalam hal ini sepertinay lebih mengarah keada maslah personal, urusannya adalah adalah urusan pribadi-pribadi, jika pernikahan ini sudah sah secara agama dan hokum, maka jenis pernikahn seperti ini lebih kecil mudhoratnya ketimbang pernikahan pertma dan kedua di atas. Namun lagi-lagi komunikasi antara suami istri adalah sebuah keharusan. Silahkan dibicarakan “urusan menikah lagi” secara baik-baik denagn istri yag sudah ada, dan silahkan pertimbangkan semuanya dengan baik dan matang. Jika tidak maka “cukupkanlah bahagia dengan satu istri”

lalu pertanyaannya istri yang bagai mana yang membuat bahagia? Simaklah Perkataan Rosul berikut untk menjadi renunagn bersama dalam mencari dan menjadi istri :
“Sebaik-baik wanita adalah yang membahagiakanmu tatkala kamu memandangnya dan mentaatimu tatkala kamu memerintahkannya serta menjaga harga dirinya dan hartamu tatkala kamu tidak ada”.
( Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Al Hakim , Ath-Thabrani seperti yang ada dalam Al Majma’ dari hadits Ibnu Salam. Dikeluarkan juga oleh Imam Ahmad dan An-Nasai seperti hadits tadi dari Abi Hurairah).

Wallahu A’lam Bisshowab

Saiyid Mahadhir, Lc
Selengkapnya...

Perilaku Ummat Nabi Nuh: Pelecehan Terhadap Harkat dan Martabat Manusia

Perhatikan ayat berikut:

“Dan kaum Nuh sebelum itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling zalim dan paling durhaka” (QS. an-Najm: 52)

Imam at-Thobari mengomentari ayat ini sebagai sebuah bentuk perilaku yang sangat buruk ketimbang ummat nabi-nabi lainnya, bayangkan saja hampir seribu tahun nabi Nuh as. mendakwahkan ajarannya, namun selama itu juga pembangkangan terhadap apa yang diajarkan terus berlangsung[1]. Bahkan ummat nabi Nuh as. ini dikenal dengan ummat yang pertama kali melakukan kesiyrikan di muka bumi.[2]

Sedang al-Maroghi menambahkan[3], bahwa mereka adalah ummat pertama yang memulai memberikan contoh kezoliman itu, hingga bukanlah menjadi hal yag aneh jika ada banyak orang tua yang membawa anakany menemui nabi Nuh as. hanya untuk mengatakan: “Wahai anakku, dulunya aku sudah bersama orang ini (nabi Nuh as) semenjak aku berumur sepertimu ini, maka jangan sekali engkau membenarkan apa yang dia (Nuh) bicarakan”.

Buruknya perilakau mereka ini, sehinga al-Qur’an merekam beberapa perkataan mereka yang bisa dijadikan alnalisis sebab hancurnya ummat ini, semua mngarah kepada satu titik, menghina dan melecehkan nabi Nuh as.


Perhatikan ayat berikut:

25. dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu,

26. agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan".

27. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas percaya saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas Kami, bahkan Kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta". (QS. Hud: 25-27)

Pertama: Mereka sering berkata dengan ungkapan “Kami tidak melihatmu kecuali hanyalah sebagai manusia biasa”.

Dari perkataan ini bisa difahami bahwa ‘kebenaran’ apapun yang dibawa oleh nabi Nuh as. tidakakan pernah mereka terima, karena dari awal mereka tidak mempercayai perihal kerosulan Nuh as., mereka hanya menganggap Nuh as. sebagai orang biasa, bukan raja, bukan pula malaikat. Tidak lebih.[4]

Menurut Imam sya’rowi, justru jawaban seperti inilah menunjukkan kebodon mereka, karena memang rosul itu adalah contoh bagaimana menjadi manusia yang benar, justru malaikat itulah yang tidak bisa memberikan contoh kehidupan, karena jenisnya berbeda dengan manusia.[5]

Kesombongan mereka telah membuat kepala dan hati mereka keras, sehingga begitu nabi Nuh as. menyerukan dakwahnya untuk bertauhid kepada Allah swt. seketika itu juga mereka membalasnya dengan kata-kata yang pedas tapa harus memikirkannya terlebih dahulu.

Kedua: Mereka juga sering berkata “Kami tidak melihat kamu dan para pengikutmu melainkan orang-orang yang hina yang tidak meiliki pendapat”.

Ucapan ini keluar dari mulutnya para pembesar (al-Mala’) yang merasa memiliki segala hal, ketidak percayaan mereka terhadap Nuh as. didukung dengan fakta dilapangan –yang menurut mereka sangat logis- bahwa ternyata mereka-mereka yang beriman itu adalah orang-orang yag hina, bodoh, tidak punya kedudukan, bahkan miskin, semua dari stara social yang rendah. Maka jika dakwah Nuh as. ini benar tentulah orang-orang cerdas lainnya dan mereka yang punya banyak harta akan menjadi rang yang pertama beriman.

“Mereka berkata: "Apakah Kami akan beriman kepadamu, Padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?" (QS. as-Syu’aro: 111)

Padahal, jelas Imam Sya’rowi[6], justru para rosul as. itu diutus untuk meyelamatkan kaum lemah yang tertindas, dan meyelamatkan bumi dari segala bentuk kejahatan yang biasanya bersumber dari mereka yang mempunyai kekuasaan dan kekayaan harta (mala’), dan dalam waktu yang bersamaan yang seperti ini tidak mesti bahwa kebenaran itu hanya milik mereka yang kuat, kebenaan tetaplah kebenaran.

Ketiga: Perkataan mereka: “Kami tidak melihat kelebihan pada diri kamu”

Mereka menganggap rendah Nuh as. dan para pengikutnya, dengan menyatakan bahwa mereka adalah manusia hina, yang tidak mempunyai kekayaan, jabatan, kekuatan, kecerdasan, pengetahuan, yang menurut mereka itulah standar kebenaran yang harus ada pada diri Nuh as. dan para pengikutnya[7]. Padahal justru hal-hal yang mereka katakan itu sangat mungkin menjadi factor yang berpotensi menjadikan seseorang melakukan pelecehan terhadap orang lain[8].

Dan keempat: Perkataan mereka: “Akan tetapi kami malah menyakini kalian sebagai pendusta”. Ini adalah kesimpulan akhir dari apa yang mereka inginkan, sengaja mereka mengkhirkan pernytaan seperti ini, karena susunan ungkapan seperti ini akan sangat melukai hati, begitu jelas Rasyid Ridho.[9] Dan pelecehan seperti ini tidak hanya untuk nabi Nuh as. sendiri akan tetapi yang demikian mereka tujukan juga kepada semua orang yang menjadi pengikutnya.

Wallahu A'lam bisshowab

Saiyid Mahadhir, Lc

.................................................................


[1] At-Thobari, Jami’ al-Bayan, Juz 22, h. 553
[2] Al-Marogi, Tafsir al-Maroghi, Juz 12,h. 24
[3] Al-Maroghi, Tafsir al-Maroghi, Juz 26, h. 26-27
[4] Wahbah Az-Zuhaili, Wahbah bin Mshtofa az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damakus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418 H) cet. II, Juz 12, h. 55
[5] Imam as-Sya’rowi, Tafsir as-Sya’rowi, Juz 10, h. 6428
[6] Imam as-Sya’rowi, Tafsir as-Sya’rowi, Juz 10, h. 6431
[7] Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 12, h. 56
[8] Husnul Hakim, Mengintip Takdir Ilahi, h. 188
[9] Rasyid Ridho, Muhammad Rasyid bin Ali bin Ridho bin Muhammad Syams ad-Din, Tafsir al-Manar, (Kairo: al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kutub, 1990), Juz 12, h. 53
Selengkapnya...

Sebab Kehancuran Ummat Nabi Syu’aib: Kejahatan Ekonomi

Mereka disebut kaum Madyan[1], juga disebut dengan istilah ashab al-Aikah[2]. Mereka adalah penduduk yang memiliki keahlian dalam hal perdagangan dan berkebun. Hanya saja mereka malah dikenal dengan kaum yang sering melakukan kejahatan dalam bidang ini, melakukan berbagai bentuk kecurangan, disamping itu mereka adalah penyembah berhala, mereka juga terbiasa mengambil yang orang lain dengan jalan yang tidak benar, mengahalangi orang lain dari jalan kebenaran,dan membuat kerusakan dimuka bumi.[3] Atas dasar inilah maka Allah swt. mengutus nabi Syu’aib as. kepada mereka.

“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman. Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok. dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu. dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan”

Nabi Syu’aib memulai dakwahnya dengan mengajaknya ummatnya untuk bertauhid, sama seperti nabi-nabi sebelumnya, lalu kemudian disusul dengan peringatan-peringatan yang berkaitan dengan perilaku buruk mereka.


Melalui ayat diatas, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi objek dakwah Syu’aib as.[4]: Pertama: Dakwah tentang tauhid, mengesakan Allah swt. juga membenarkan perihal kenabian Syu’aib as.. Kedua: Peringatan untuk memenuhi takaran dan timbangan dalam berdagang. Ketiga: Tidak mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar, seperti melakukan berbagai penipuan, ghosob, pencurian, merampok, korupsi, dan segala bentuk yang lainnya. Keempat: Tidak membuat kerusakan dimuka bumi.

Imam ar-Rozi menjelaskan[5], redaksi فأوفوا الكيل والميزان disebutkan tepat setelah dakwah tentang tauhid mengindikasikan bahwa perilaku ini sudah sangat megakar, sehingga hal inilah yang menjadi perhatian pertama nabi Syu’aib as.

Sebenarnya kaum Madyan ini hidup dibumi yang subur, dibekali dengan keahlian dagang dan berkebun mereka semua hidup dalam kenikatan yag tiada tara, hanya saja semua itu mereka campurkan dengan perilaku dagang yang cendrung merugikan orang lain, mengurangi timbangan sepertinya sudah menjadi dara daging dan sebagian besar masarakat ini cendrung memperaktekkannya. Padahal keuntungan yang sedikit dan halal itu walaupun dalam nominal yang sedikit lebih dicintai oleh Allah swt. ketimbang memperoleh untung yangbanyak namun dengan cara yang tidak jujur (Lihat: QS. Hud: 85-87)

Sedangkan redaksi ولا تبخسوا الناس أشياءهم (janganlah kalian menggelapkan milik oang lain) menunjuk reaksi yang lebih umum ketimbang hanya mengurangi timbangan[6], maka dari sini Allah swt. sebenarnya menghendaki semua perikau yag bersifat menagmbil hak orang lain dengan jalan yang tidak dibenarkan harus segera diakhiri, mulai dari mencuri, ghosob, korupsi, merampok, semua perdaganga yang tidak jujur, dan seterusnya.

Akan tetapi semua ajakan Syu’aib itu malah disambut dengan berbagai ancaman. Perhatikan ayat berikut:

“Pemuka-pemuka dan kaum Syu'aib yang menyombongkan dan berkata: "Sesungguhnya Kami akan mengusir kamu Hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota Kami, atau kamu kembali kepada agama kami". berkata Syu'aib: "Dan Apakah (kamu akan mengusir kami), Kendatipun Kami tidak menyukainya?" (QS. al-A’rof: 88)

Imam al-Maroghi menyimpulkan[7], setidaknya Syu’ib as. diancam dengan dalam dua hal: 1) Untuk pergi meningalkan kampung halamnnya, atau 2) Syu’aib kembali kepada kaumnya dengan melepas semua ajarannya dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi ajaran mereka terdahulu. Namun Syu’aib tetap bertahan (Istiqomah) terhaap apa yang diancamkan kepadanya (QS. al-A’rof: 89)

Diatas semua ancaman dan penolakan terhadap dakwahnya, nabi Syu’aib as. tetap bertahan sembari mengatakan:

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali” (QS. Hud: 88)

Akhirnya kepada Allah jualah Syu’aib menyeahkan segala perkara kaumnya, dan memang ketika perilaku maksiat itu sudah membudaya, lihat saja apa yang akan terjadi.

Kaum Madyan ditimpa azab yang sangat pedih, bencana yang hadir tidak hanya meghancurkan mereka, namun juga meghancurkan emua banguna yang ada. Allah mengirim gempa bumi (rojfah), disertai dengan suara yang memecahkan telinga (shoihah), dan Allah swt. menamaan itu dengan adzb yaum az-Dzullah

“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan Dia dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya” (QS. Hud: 89)

“Kemudian mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka” (QS. al-A’rof: 91)

“Kemudian mereka mendustakan Syu'aib, lalu mereka ditimpa 'azab pada hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya azab itu adalah 'azab hari yang besar” (QS. as-Syu’aro’: 189)


Wallahu A'lam Bisshowab
siayid Mahadhir, Lc
............................................................

[1] Menukil dari pendapat Muhammad bin Ishaq, Ibnu Katsir menuliskan bahwa mereka adalah keturuna dari Madyan bin Ibrohim, sebelum akhirya nama ini menjadi nama suatu kaum (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Juz 3, h. 446). Mereka tinggal disebuah daerah yang terletak di Hijaz, sebelah timur Urdun, tepatnya di daerah Ma’an (Lihat: az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 8 h. 288)

[2] Lihat: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Juz 6, h. 58

[3] Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 8, h. 288

[4] Lihat: az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 8, h. 290-292

[5] Ar-Rozi, Mafatih al-Ghoib, Juz 14, h. 313

[6] Lihat: ar-Rozi, Mafatih al-Ghoib, Juz 14, h. 314,

[7] Al-Maroghi, Tafsir al-Maroghi, Juz 9, h. 4
Selengkapnya...