Belajar Tafsir = Belajar Fiqih

Fiqih itu bak sebuah makanan yang sudah siap saji, dan pastinya siap untuk disantap. Diolah dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Adapun bahan mentahnya adalah al-Qur’an dan Hadits Rosul saw.

Maka fiqih adalah akumulasi dari dari dua bahan dasar yang besar ini, ditambah dengan ijma’ dan qiyas. Namun jika bahan dasar ini kita preteli satu-satu, maka kita akan menemukan gaya lain baru dari fiqih itu sendiri, bentuk dan modelnya bukan bentuk fiqih, akan tetapi rasanya tetap fiqih.

Sama halnya dengan jenis makanan Palembang; pempek dan tekwan, dua-duanya berbahan dasarkan gandum dicampur dengan ikan dan lainnya, namun bentuk kedua makanan ini sanga berbeda. Pempek biasanya lebih besar dari tekwan yang bentuknya hanya buletan-buletan kecil yang has itu, jika pempek lebih enak dimakan dengan kuah cuka, beda halnya dengan tekwan yang punya kuah tersendiri.

Jika kita berbicara fiqih hanya ditinjau ditinjau dari bahan dasar al-Qur’an saja, tentunya sedikit ditambah dengan sedikit bahan lainnya untuk kelengkapan rasa, maka kita akan menemukan bahwa yang demikian lebih dikenal dengan sebutan “Tafsir Fiqih” atau dalam istilah lain disebut dengan istilah “Tafsir Ayat Ahkam (hokum)”, yang demikian karena corak penafsiran ini hanya memfokuskan pada ayat-ayat hukum yang ada di dalam al-Qur’an, untuk kemudian mereka kumpulkannya dan akhirnya menjadi pembahsann tersendiri yang rasanya adalah rasa fiqih.


Dan Pastinya Rosul saw adalah manusia pertama yang berhak menyandang gelar mufassir (Ahli tafsir) baru kemudian disusul dengan para sahabat dan tabi’in dan seterusnya. Hanya bentuk tafsir yang secara husus membahas masalah fiqih ini baru mulai berkembang setelah masa kodifikasi. Akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.

Sebenarnya hampir setiap kitab tafsir akan menyentuh wilayah ini, hanya porsinya saja yang berbeda, ada yang sekedarnya saja, ada juga yang ‘lumayan’ merincinya, namun ada juga yang memang benar-benar memberikan kepada kita penjelasan yang banyak dan detail sekali ketika membahas tentang ayat-ayat hukum, sehingga ketika kita membacanya seakan-akan kita bukan membaca tafsir, melainkan kita sedang disuguhi nuansa fiqihnya yang sangat kental.

Pada pembahsan perdana ini penulis akan sedikit memberikan beberapa contoh penafsiran yang nuansa fiqihnya sangat kental, diantaranya adalah:

1. Ahkam al-Qur’an,disusun oleh al-Imam Hujjat al-Islam Abi Bakr Ahmad bin Ali al-Razi, al-Jasshash (303-370 H/917-980M), salah seorang ahli Fiqih dari kalanganmadzhab Hanafi.

2. Ahkam Al-Qur’an al-Kiya al-Harasi, karya al-Kiya al-Harasai (w. 450 H/1058 M),salah seorang Mufassirin berkebangsaan Khurasan

3. Ahkam al-Qur’an Ibn al-Arabi, merupakankarya momumental Abi Bakar Muhammad bin Abdillah, yang lazim popular dengan sebutan Ibnul ‘Arabi (468-543 H/1075-1148M)

4. Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa a-Mubayyin lima tadzammanahu minal-as Sunnah waayi al-Qur’an (himpunan hukum-hukum al-Qur’an dan penhjelasan terhadap isi kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Qur’an), pengarangnya adalah abiAbdillah Muhammad al-Qurthubi (W. 671 H./1272 M)

5. Tafsir Fath al Qadir, karya besar Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullahal-Syaukani ( 1173 – 1250 H/1759 -1839 M)

6. Tafsir Ayat Al-Ahkam, disusun oleh Syaikh Muhammad Ali As-Sayis

.Awalnya beliau menulis ini hanya untuk kepentingan internal kampus saja, yang kebetulan beliau pada waktu itu sedang mengajar di fakultas syari’ah walqonun pada Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Namun akhirnya buku ini di terbitkan dan ternayat mendapat respon yang sangat positif dari masyaratka muslim dunia, sehingga buku ini juga laris manis di Negara kita Indonesia, terutama bagi kampus-kampus yang menjadikannya buku wajib dalam mata kulia tafsir ahkam.

Akhirnya, inilah model lain dari bagaimana kita belajar fiqih, belajar fiqih lewat metode tafsir, sehingga dengan demikian semakin banyak cara yang kita pakai dalam belajar fikih akan semakin membuat kita lebih faham dengan fiqih, itulah yang sudah dilakukan oleh ulama-ulama kita terdahulu, sehingga akan sanagt wajar mereka sangat fiqih (faham) dengan agama mereka, terkhusus yang berkaitan dengan permasakahn hukum islam.

Berharap dari sana kita semua, penduduk Indonesia yang mayoritas muslim ini akan semakin melek fiqih. Menuju Indonesia yang lebih baik.

bersambung dalam tulisan berikutnya #TafsirAyatAhkam...:-)

Wallahu A’lam Bisshowab

Saiyid Mahadhir, Lc

0 komentar:

Posting Komentar