Ijab Kabul itu apaan sih?

Kemarin (25 maret 2012) kita diundang dalam acara walimah urs di daerah Cikarang, Bekasi. Ada hal yang unik dalam acara ini, ternyata mempelai laki-laki dengan penampilan yang gagah itu butuh 5-6 kali untuk bisa dengan sempurna melafzkan kata-kata penerimaan.

Kasihan ya, mana acara diluar rumah lagi, hamper seluruh undangan menyaksikan kegugupannya itu, belum lagi melihat Pak Penghulu dan wali calon istri yang kelihatannya ‘lumayan’ kesel, pasalanya walinya harus terus mengulang-ngulang, karena kata Pak Penghulu ucapan itu beum sah.

Hem, bukan hanya Pak Penghulu sih yang bilang ga sah, tapi kelihatannya para undangan juga mengaminkan untuk bisa diulang lagi. Baru untuk yang keenam kalinya Pak Penghulu dan undangan seakan serempak beteriak SAH! Tak lama bergemuruh suara tepuk tangan.. (Cie, pake aca tepuk tangan segala, emangnya lomba :-))

Apa bener prosesi ijab Kabul itu sesulit itu? Sehingga butuh diulang-ulang gitu?

Dalam syari’at islam, memang ijab dan qobul dalam pernikahan itu bagian dari rukun nikah, dimana jika ia tidak ada maka tidaka ada pernikahan. Dalama mazhab syafi’I rukun nikah itu terdiri dari dari, yaitu: Calon suami, calon istri, Lafzh (Ijab qobul), wali, dan dua orang saksi.


Ijab dan qobul itu apa? Ayooo… bisa jawab ta’? Saya jadi pingin tanya dengan Pak Penghulu tentang lafz Ijab itu apa?

Lafaz Ijab itu menurut Imam Abu Hanifah ialah lafaz pertama yang keluar, jika lafaz pertama yang keluar itu dari wali calon istri, maka itulah yang dinamakan Ijab, tapi jika seandainya yang pertama keluar justru dari calon suami, maka itulah ijab.

Sedang lafaz qobul itu adalah lafaz kedua setelah lafz pertama tadi, jika lafz yang kedua itu keluar dari lisannya calon suami, maka itulah qobul, pun begitu jika trnyata lafz kedua justru keluar dari lisannya wali calon istri, maka itu juag dinamakan qobul.

Lo, emang bisa seperti itu? Jika memakai pengertian ini bisa dong.. Jika selama ini

kita sering menyaksikan bahwa lafaz ijab itu hanya keluar dari wali, misalnya si wali berkata kepada si B selaku calon suami: “Wahai si B, Saya nikahkan engkau dengan putriku si D dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai” dan kemudian dijawab oleh si B selaku calon suami dengan lafaz qobul dg kata-kata: “Saya terima nikahnya si D putri Bapak dengan maskawin tersebut”

Dengan memakai pengertian ini, sebenranya sah jika lafaz ijab keluar dari calon suami, misalnya si B mengucapkan: “Wahai Pak Tono, tolong nikahkan saya dengan anak Bpk bernama si D dg mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai” lalu kemudian jiwab oleh wali calon istri dengan lafaz qobul: “Iya, saya nikahkan engkau dengan anak saya si D” dan sekali itu sah.

Walaupun disa’at yang bersamaan Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Hambali, menyatakan bahwa lafaz ijab itu adalah kalimat yang keluar dari wali walupun kalimat yang keluar itu terkesan kalimat qobul, dan lafaz qobul itu adalah kalimat yang keluar dari calon suami walaupun kalimat yang keluar itu terkesan ijab, intinya
tidak terlalu berjauhan dg pendapat Imam Abu Hanifah.

Lalu apakah ijab qobul itu punya lafz khusus?

Jumhur ulama sepakat bahwa tidak ada lafaz khusus dalam perkara ini, yang penting maksud yang dininginkan tercapai, boleh memakai bahsa arab atau pun Indonesia, boleh juga menggunkan bahasa jawa, Madura, kalimantan, Medan, Palembang, Papua, dll.

Jadi tidak ada yang harus persulit, jangan sampai malah membuat calon suami jelek dimata undangan, hanya saja imam Syafi’I dan Hambali mensyaratkan bahwa didalam kata-kata ijab dan qobul itu harus memakai kata-kata nikah atau zawaj walau dalam versi jawa, sunda, dll, dan tidak begitu bagi Imam Abu HAnifah dan Imam Maliki.

Apakah lafz Ijab qobul harus sempurna sampe disebutkan maharnya?

Lebih simple boleh, mahar itu tidak harus diteriakkan dihalayak ramai ko, apa lagi jika maharnya hanya uang Rp 10.000,- kan malu didenger orang:-), misalnya si wali mengatakan: “Wahai si B, saya nikahkan engkau dengan putriku bernama si D” itu sudah cukup dan jelas maknanya, lalu kemudian dijwab oleh si B ”Saya terima” sebatas itu juga cukup. Gampangkan?? Jangan bikin malu calon mantu sendiri dengan sok pingin mantep jawabnya dengan kalimat-kalimat yang panjang, dan itu sah ko? Tanya saja dengan Mazhab Abu Hanifah, Maliki, dan Hambali, hanya mazhab Safii yang menharuskan kata-kata nikahnya juga harus disebut oleh si B dg “Saya terima nikahnya” dan itu cukup dan sah dalam mazhab Syafi’I walu tanpa embel-embel lainnya.

Katanya harus memakai bahasa arab?

Memang ada pendapat dari mazhab Hmbali bahwa lafaz aqad itu harus memakai bahas arab, mungkin bagi mereka lafz ini sama dengan lafz takbirotul ihrom dalam sholat yang hanya boleh diucapkan degan ‘Allahu Akbar’ dan tidak boleh dengan ‘Allah Nan Gadang’, maka bagi mazhab ini baik wali maupun calon suami harus belajar bahasa arab.

Nah, bagus juga sih pendapatnya, biar semuanya pada daftar di Husnayain atau tempat-tempat lainnya biar bisa bahsa arab, kalo bilang dengan bahasa arab pasti mertua akan bilang “Manteeeppppp” :-)

Namun tidak begitu dengan jumhur ulama, asalkan bisa difahami dan lafznya jelas silahkan untuk memakai bahasa suku masing-masing.

Oiya, apakah harus pegagan tangan ketika akad?

Sejauh yang kita ketahui, tidak ada penjelasan tentang itu, mungkin itu hanya bagian dari tradisi saja, biar lebih mantep, biar kerasa panas-dinginya, walau sebenarnya tanpa pegangan tangan juga tetap sah.

Jika sudah begini, ntar Ijab Qobul sekali aja ya, insya Allah. Ga usah pake diulang-ulang, kasian, semua jadi malu, calon suami malu, calon istri malu, wali calon istri juga sebel, para undangan jadinya ikut tegang, dan Pak Ustazd yang hadir jadi ikutan tersenyum.
Hidup mudah dan ringan dengan belajar fiqih. Wallahu a’lam bis showab

saiyid Mahadhir, Lc

0 komentar:

Posting Komentar