Khutbah Jum’at

Sudah bukan menjadi hal yang aneh lagi, jika pada sholat jum’at selalu ada khutbahnya. Rosulullah SAW sangat menganjurkan bagi setiap muslim laki-laki, baligh, tidak dalam perjalanan juga tidak sakit untuk bergegas pergi ke masjid pada hari jum’at agar bisa mendengarkan khutbah jum’at dari awalnya.

Khutbah itu bagian dari syarat sahnya sholat jum’at, itu artinya jika tidak ada yang khutbah dalam rangkaian sholat tersebut, maka tidak sah sholatnya.

Ada sebuah cerita, yang datangnya dari sebuah pedalaman di sumatera sana, penulis sendiri pernah hidup lama disana. Waktu itu hari jum’at, semua orang sudah bersiap dari rumah masing-masing untuk pergi ke masjid guna melaksanakan sholat juma’at, anehnya belumlah mereka melaksanakan rangkaian sholat tersebut, tiba-tiba mereka semua keluar dari masjid itu, dan tidak jadi sholat, setelah ditanya-tanya ternyata waktu itu sang khotibnya lagi keluar desa, dan ustad yang satuya lagi juga tidak ada di tempat, parahnya lagi tidak ada yang mau dan bisa untuk menggantikan posisi khotib di hari itu. Akhirnya mereka semua pulang.

Ini cerita bukan bohongan. Penulis sendiri pada waktu itu masih duduk di bangku SD, yang penulis pikirkan pada waktu apakah khutbah jum’at itu memang perkara yang sulit? sehingga sesulit itu semua orang rela pulang, tidak mau dan tidak jadi sholat jum’atnya.


Ada juga cerita lainnya yang penulis sendiri pernah lihat, pada waktu itu sang khotib yang tengah khutbah di atas mimbarnya ditegur oleh jama’ah dari bawah. “Sholawat, sholawat” dengan suara yang keras da kurang enak didengar, mungkin maksudnya menegur hotib yang mungkn lupa baca sholawat, atau memang tidak membaca sholawat, atau mungkin juga baca sholawat tetapi degan versi yang lain sehingga kedengarannya itu bukan sholawat, padahal itu sholawat.

Untuk yang kedua kalinya penulis berpikir, apakah khutbah jum’at itu memang harus ada showalawatnya, dan jika tertinggal, atau sang khotibnya malah tidak menyebutkannya menjadi batal?

lalu sebenarnya bagaimana khutbah jum’at itu?

Setelah kita membuka kembali buku-buku fikih, ternyata cukup melegakan hati, rupanya kita punya banyak versi dalam berkhutbah jum’at, mudah-mudahan dari sini bisa memudahkan kita untuk bisa khutbah jum’at, atau setidaknya kita tidak menyalahkan sang khotib jika memang berbeda versi khutbahnya dengan khutbah yang salami ini kita pegang:

1. Versi pertama

Pemaknaan khutbah itu diserahkan kepada adat kebiasaan setempat, maka setiap ucapan yang tersusun yang itu bagi sebuah masyarakat sudah termasuk dalam katagori khutbah bagi merka, maka sah berkhutbah degan yang seperti ini, sebagimana sahnya jika itu dilakukan berdiri, atau duduk, khutbah dua kali atau hanya satu kali, baik menggunakan bahasa arab atau memakai bahasa lainnya (Inggris, Jepang, Cina, Indonesia, Jawa, Junda, Sumatera, dll).

Mereka juga berpedapat boleh berkhutbah walau dengan lafazh tahmid, tasbih, tahlil saja, karena yang diminta dalam al-Qur’an hanya dzikir secara umum, firman Allah :
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ

Versi seperti ini yang diambil oleh mazhab Abu Hanifah. Hanya saja khutbah itu harus dilaksanakan sebelum sholat.

2. Versi kedua

Berkhutbah dengan katagori sependek-pendekn khutbah dalam bahasa arab, contohnya hanya dengan mengcap:

اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا أَمَرَ ، وَانْتَهُوا عَمَّا عَنْهُ نَهَى وَزَجَر

“Bertaqwalah kalian keada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan, dan jauhilah apa yang Dia larang"

sah khutbahnya, walau tanpa ada tambahan yang lainnya. Namun tidak sah jika hanya bertasbih, tahlil, da takbir saja.

Versi yang kedua harus memakai khutbah dua kali, tidak sah bagi mereka jika hanya khutbah satu kali saja. Kerana Rosul SAW dalam berkhutbah juma’at selalu memakai dua kali khutbah. Pendapat ini adalah pendapat mazhab Maliki.

3. Versi ketiga

Versi berikut ini dengan memakai dua kali khutbah dan harus memenuhi beberapa ketentuan berikut:

a. Harus ada puji-pujian
b. Harus ada sholat kepada Nabi SAW dan memakai lafazh sholawat yang sudah masyhur
c. Harus ada wasiat ketakwaan, dengan lafzh yng tidak mengikat. Artinya boleh. berwasiat dengan variasi berbeda asalkan itu bermakna wasiat kepada ketakwaan.
d. Berdo’a (pada khutbah kedua)
Di dalam khutbah itu ada membaca ayat al-Qur’an (disunnahkan membacanya pada khutbah pertama).

adapun poin a, b, dan c harus ada pada khutbah pertama dan kedua. Versi seperti ini bersandar kepada cara berkhutbahnya Rosul SAW. Dan yang ini lebih dikenal di Indonesia karena ini yang dipakai oleh mazhab Imam syafi’i.

4. Versi keempat

Versi yang keempat ini juga memakai dua kali khutbah, dengan memperhatikan poin-poin berikut:

a. Ada puji-pujian
b. Juga ada sholawatnya
c. Ada mau’izhohnya (peringatan) karena sebenarnya inilah inti khutbah.
d. Memaba ayat al-Qur’an
e. Mengeraskan suara
f. al-Muwalah (berurutan atau tidak diselang waktu) antara khutbah pertama dengan kedua, juga tidak diselang waktu antara khutbah kedua dengan sholat. Dan yang terakhir ini adalah versi Imam Ahmad bin Hambal.

Inilah beberapa versi berkhutbah pada hari jum’at yang bisa dipakai sesuai dengan kebutuhan dimana kita hidup, jika kita hidup di Indonesia pakailah versinya Imam syaf’I, namun jika ada yang berkhutbah dengan versi yang berbeda jangan disalahkan, toh semuanya bisa dipakai tergantung dengan selera masing-masing.

Dari pada nanti ujung-ujungnya semua pada pulang gara-gara khotib berhalanagan hadir, dan tidak ada yang bisa berkhutbah dalam versi Imam syafi’I, atau dari pada nanti timbul keributan di masjid-masjid, hanya karena sang khotib memakai versi yang berbeda dari yang selama ini kita ketahui.

Wallahu a'lam bisshowab,

Saiyid Mahadhir, Lc

0 komentar:

Posting Komentar