Fiqih itu Alat

Fikih itu alat, tidak lebih. Jika al-Qur’an dan Hadits itu kita ibaratkan rumah, makanya kuncinya adalah fiqih. Dan kita akan merasa kesulitan untuk memasuki rumah itu jika kita tidak mempunyai kuncinya, bisa sih masuk lewat jendala, tapi hawatirnya disangka maling, pinginny nyaman dengan memasuki rumah, tapi ternyata malah benyok-benyok dihantam tinjuan dari masyarakat, karena disangka maling.

Allah swt. sudah menurunkan al-Qur’an dengan ribuan ayatnya, dan Rosul juga sudah mewariskan kepada kita hadits-haditsnya yang sangat banyak itu, lalu bagaimana mengambil kesimpulan dari ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut?
Tentunya kita membutuhkan sebuah cara, lebih kerennya kita sebut dengan metodologi yang bisa mengantarkan kita untuk bisa memahami dalil-dalil itu dengan baik dan sempurna.

Dan itulah tugasnya fiqih, yang memungkinkan dengannya kita bisa sampai kepada sebuah kesimpulan tentang sebuah hokum permasalahan dengan landasan ayat-ayat yang banyak tadi, dan didukung dengan hadit-hadits yang sudah Rosul wariskan.
Sebaliknya, tanpa penguasaan ilmu fiqih, Al-Quran dan Hadits bisa diselewengkan dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar,atau difahami dengan salah sehingga membuatnya sesat dan mungkin juga dianya menyesatkan orang lain juga, padahal yang sesat itu bukan al-Qur’an dan Haditsnya, melainkan mereka yang menggunakannya itu tidak memunyai kuncinya, maka ilmu fiqih adalah kunci untuk memahami Al-Quran dan As-Sunnah dengan metode yang benar.


Di dalam Al-Quran dan hadits disebutkan bahwa pencuri harus dipotong tangannya, pezina harus dirajam, dan seterusnya. Memang demikian zahir nash ayat Al-Quran dan Hadits. Namun benarkah semua pencuri harus dipotong tangannya?. Apakah semua orang yang berzina harus dirajam?

Di dalam ilmu fiqih akan dijelaskan kriteria pencuri yang bagaimanakah yang harus dipotong tangannya. Tidak semua orang yang mencuri harus dipotong tangan. Ada sekian banyak persyaratan yang harus terpenuhi agar seorang pencuri bisa dipotong tangan. Misalnya barang yang dicuri harus berada dalam penjagaan, nilainya sudah memenuhi batas minimal, bukan milik umum dan lainnya. Bahkan kriteria seorang pencuri tidak sama dengan pencopet, jambret, penipu atau koruptor.

Demikian juga dengan pezina, tidak semua yang berzina harus dihukum rajam. Selain hanya yang sudah pernah menikah, harus ada empat orang saksi lakil-laki, akil, baligh, dan menyaksikan secara bersama di waktu dan tempat yang sama melihat peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan. Tanpa hal itu, hukum rajam tidak boleh dilakukan. Kecuali bila pezina itu sendiri yang menyatakan ikrar dan pengakuan atas zina yang dilakukannya. Dan yang paling penting, hukum rajam haram dilakukan kecuali oleh sebuah institusi hukum formal yang diakui dalam sebuah negara yang berdaulat.

Dan begitu seterusnya, tanpa fiqih banyak orang yang salah kaprah dalam memahami nash al-Qu’an dan Hadits. Semangat keislaman yang begini –berislam tanpa dilandasi dengan ilmunya- justru malah menjadi perusak islam itu sendiri. Sekali lagi, fiqih itu alat. Alat yang bisa menjadi pegangan kita dalam menyimpulkan hokum-hukum dalam al-qur’an dan hadits yang jumlah sangat banyak itu, dan seterusnya barulah kita bisa menjalankan isi al-Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar.

Wallahu a’lam bisshowab

Saiyid Mahadhir, Lc

0 komentar:

Posting Komentar