Sebab Kehancuran Ummat Nabi Syu’aib: Kejahatan Ekonomi

Mereka disebut kaum Madyan[1], juga disebut dengan istilah ashab al-Aikah[2]. Mereka adalah penduduk yang memiliki keahlian dalam hal perdagangan dan berkebun. Hanya saja mereka malah dikenal dengan kaum yang sering melakukan kejahatan dalam bidang ini, melakukan berbagai bentuk kecurangan, disamping itu mereka adalah penyembah berhala, mereka juga terbiasa mengambil yang orang lain dengan jalan yang tidak benar, mengahalangi orang lain dari jalan kebenaran,dan membuat kerusakan dimuka bumi.[3] Atas dasar inilah maka Allah swt. mengutus nabi Syu’aib as. kepada mereka.

“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman. Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok. dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu. dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan”

Nabi Syu’aib memulai dakwahnya dengan mengajaknya ummatnya untuk bertauhid, sama seperti nabi-nabi sebelumnya, lalu kemudian disusul dengan peringatan-peringatan yang berkaitan dengan perilaku buruk mereka.


Melalui ayat diatas, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi objek dakwah Syu’aib as.[4]: Pertama: Dakwah tentang tauhid, mengesakan Allah swt. juga membenarkan perihal kenabian Syu’aib as.. Kedua: Peringatan untuk memenuhi takaran dan timbangan dalam berdagang. Ketiga: Tidak mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar, seperti melakukan berbagai penipuan, ghosob, pencurian, merampok, korupsi, dan segala bentuk yang lainnya. Keempat: Tidak membuat kerusakan dimuka bumi.

Imam ar-Rozi menjelaskan[5], redaksi فأوفوا الكيل والميزان disebutkan tepat setelah dakwah tentang tauhid mengindikasikan bahwa perilaku ini sudah sangat megakar, sehingga hal inilah yang menjadi perhatian pertama nabi Syu’aib as.

Sebenarnya kaum Madyan ini hidup dibumi yang subur, dibekali dengan keahlian dagang dan berkebun mereka semua hidup dalam kenikatan yag tiada tara, hanya saja semua itu mereka campurkan dengan perilaku dagang yang cendrung merugikan orang lain, mengurangi timbangan sepertinya sudah menjadi dara daging dan sebagian besar masarakat ini cendrung memperaktekkannya. Padahal keuntungan yang sedikit dan halal itu walaupun dalam nominal yang sedikit lebih dicintai oleh Allah swt. ketimbang memperoleh untung yangbanyak namun dengan cara yang tidak jujur (Lihat: QS. Hud: 85-87)

Sedangkan redaksi ولا تبخسوا الناس أشياءهم (janganlah kalian menggelapkan milik oang lain) menunjuk reaksi yang lebih umum ketimbang hanya mengurangi timbangan[6], maka dari sini Allah swt. sebenarnya menghendaki semua perikau yag bersifat menagmbil hak orang lain dengan jalan yang tidak dibenarkan harus segera diakhiri, mulai dari mencuri, ghosob, korupsi, merampok, semua perdaganga yang tidak jujur, dan seterusnya.

Akan tetapi semua ajakan Syu’aib itu malah disambut dengan berbagai ancaman. Perhatikan ayat berikut:

“Pemuka-pemuka dan kaum Syu'aib yang menyombongkan dan berkata: "Sesungguhnya Kami akan mengusir kamu Hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota Kami, atau kamu kembali kepada agama kami". berkata Syu'aib: "Dan Apakah (kamu akan mengusir kami), Kendatipun Kami tidak menyukainya?" (QS. al-A’rof: 88)

Imam al-Maroghi menyimpulkan[7], setidaknya Syu’ib as. diancam dengan dalam dua hal: 1) Untuk pergi meningalkan kampung halamnnya, atau 2) Syu’aib kembali kepada kaumnya dengan melepas semua ajarannya dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi ajaran mereka terdahulu. Namun Syu’aib tetap bertahan (Istiqomah) terhaap apa yang diancamkan kepadanya (QS. al-A’rof: 89)

Diatas semua ancaman dan penolakan terhadap dakwahnya, nabi Syu’aib as. tetap bertahan sembari mengatakan:

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali” (QS. Hud: 88)

Akhirnya kepada Allah jualah Syu’aib menyeahkan segala perkara kaumnya, dan memang ketika perilaku maksiat itu sudah membudaya, lihat saja apa yang akan terjadi.

Kaum Madyan ditimpa azab yang sangat pedih, bencana yang hadir tidak hanya meghancurkan mereka, namun juga meghancurkan emua banguna yang ada. Allah mengirim gempa bumi (rojfah), disertai dengan suara yang memecahkan telinga (shoihah), dan Allah swt. menamaan itu dengan adzb yaum az-Dzullah

“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan Dia dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya” (QS. Hud: 89)

“Kemudian mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka” (QS. al-A’rof: 91)

“Kemudian mereka mendustakan Syu'aib, lalu mereka ditimpa 'azab pada hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya azab itu adalah 'azab hari yang besar” (QS. as-Syu’aro’: 189)


Wallahu A'lam Bisshowab
siayid Mahadhir, Lc
............................................................

[1] Menukil dari pendapat Muhammad bin Ishaq, Ibnu Katsir menuliskan bahwa mereka adalah keturuna dari Madyan bin Ibrohim, sebelum akhirya nama ini menjadi nama suatu kaum (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Juz 3, h. 446). Mereka tinggal disebuah daerah yang terletak di Hijaz, sebelah timur Urdun, tepatnya di daerah Ma’an (Lihat: az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 8 h. 288)

[2] Lihat: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Juz 6, h. 58

[3] Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 8, h. 288

[4] Lihat: az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 8, h. 290-292

[5] Ar-Rozi, Mafatih al-Ghoib, Juz 14, h. 313

[6] Lihat: ar-Rozi, Mafatih al-Ghoib, Juz 14, h. 314,

[7] Al-Maroghi, Tafsir al-Maroghi, Juz 9, h. 4

0 komentar:

Posting Komentar